Skip to main content

MAKALAH PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH




DISUSUN OLEH:
 MUHAMMAD CHOLIEQ

DOSEN PEMBIMBING

DR. H. IDZAN FAUTANU, MA


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2008-2009

DAFTAR ISI
Daftar Isi...........................................................................................................            
Pedahuluan .......................................................................................................            
Pembahasan......................................................................................................            
            Pemikiran Politik Sunni
            Pemikiran Politik Syiah
            Pemikiran Politik Khawarij
            Pemikiran Politik Mu’tazilah
Kesimpulan.......................................................................................................            
Daftar Pustaka..................................................................................................            





















PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

A.    PENDAHULUAN

Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara Madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting.Namun satu hal lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.
Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita dapat mengetahui beberapa pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.
B.     PEMBAHASAN
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI

Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan [1], namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.

Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. [2]Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).
Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara. [3]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah. [4]
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.
PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam[5], selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali[6], para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad  SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah[7], yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah[8], dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali. [9]
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.
Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam: [10]
  1. Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
  2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
  3. Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
  4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi. [11]
Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah). [12]
Sebelum membahs lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:
  1. Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
  2. Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
  3. Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al – Mahdi.
Untuk memperjelas paham syi’ah ini perlu dikethui ad beberapa paham yang berkembang diklangan mereka dan mengalami perbedaan – perbedaan, an untuk mempermudah alam permahaman kelompok atau sekte dalam tubuh Syi’ah ini dapat kita lihat di bagan berikut:



Skema Perpecahan dalam tubuh Syi’ah
1. Ali
2. Hasan
3. Husein
left:0;text-align:left;z-index:251664384' from="351pt,234.65pt" to="351pt,252.65pt"/><![endif]-->

4. Ali Zaenal Abidin
 

4. Muhammad bin Hanafiyyah (Mukhtar bin Ubaid al – Tsqifi), (sekte Kaisaniyah)
 






  5. Abu Ja’far
Muhammad al – Baqir
(Sekte Imamaiyah)
 

       5. Zaid
(Sekte Zaidiyah)
 





6. Ja’far ash - Shadiq
 



7. Musa al - Kadzim
 

    7. Isma’il
(Sekte Isma’iliyyah/Bathiniyyah)
 


8. Ali al - Ridho
 




9. Muhammad al – Taqi’
 



10. Ali al - Hadi
 



11. Hasan al - Askari
 



12. Muhammad al – Mahdi
(sekte Imamiyyah Itsna Asyariyah)
 


Perbandingan paham dalam mazhab Syi’ah

Sekte
Kualifikasi Imam

Jumlah Imam
Dasar pengangkatan
Harus ‘Ali
Ismah
Ghabiah
intizhar
Zaidiyah
5 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali. ‘Ali Zainal al-‘Abidin Zaid ibn Ali
Isyarat sifat-sifat imam oleh Nabi Saw.

Tidak
Tidak
Tidak
Isma’iyah tsabiyah
5 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali. ‘Ali Zainal al-‘Abidin Muhammad al-Baqir. Ja’far al-shadiq. Isma’il ibn Jafar

Ya
Ya (tidak pernah)
Ya
Ya
Imamiyah (Isna ‘Asy Anyah
12 Orang
‘Ali bin Abi Thalib. Husen Ibn ‘Ali. ‘Ali Zainal al-‘Abidin Muhammad al-Baqir. Ja’far al-shadiq. Musa al-Kharim, ‘Ali al-Ridha. Muhammad al-Taqi’. ‘Ali al-‘Aska
Muhammad al-Mahdi

Ya
Ya (tidak pernah)
Ya
Ya

PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah. [13]
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. [14] Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok. [15]
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. [16] Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, [17] juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij. [18]
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini. [19]

PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. [20] Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa[21]dalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar.[22]Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. [23]
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri

C.    PENUTUP
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik masing – masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999, jilid keenam.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan kedua.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.s


Fiqih siyasah



      Dosen :
Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA


Disusun Oleh :
muhammad cholieq






Tema  : Kehidupan Politik Pada Masa Khulafa Al Rasyidin (4 khalifah)
Kehidupan Politik Pasca Masa Khulafa Al Rasyidin (Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah )


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis hanturkan kepada Allah atas segala rahmat-Nya yang telah memberikan kesempatan waktu bagi penulis dalam menyusun tugas kelompok ini. Dan shalawat beserta salam, penulis hanturkan kepada Nabi  Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi kepada penulis akan arti dan penerapan bidang-bidang Fiqh Siyasah.
Makalah ini ditulis penulis sebagai tugas mata kuliah Fiqh Siyasah. Dan tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui kehidupan politik pada masa khulafa al-Rasyidin dan kehidupan politik pasca khulafa al-Rasyidin.Tiada Manusia yang Sempurna, begitupun dengan makalah ini. Masih ada beberapa kesalahan yang ada tanpa disadari oleh penulis, oleh karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang membangun. Dan dari penulis sendiri kami ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Ciputat, 2 Oktober 2009
Penulis














Daftar Isi
Kata Pengantar
Kehidupan Politik Masa khulafah al-Rasyidin ……....
                        Abu Bakar
                        Umar bin Khatab
                        Utsman bin Affan
                        Ali bin Abu Thalib
Kehidupan Politik Masa khulafah al-Rasyidin
                        Masa Bani Umayyah
                        Masa Bani Abbasiyah
                       
Daftar Pustaka















AL Khufala Al – Rasyidin


Dengan wafat nya Nabi maka berakhirlah stuasi yang sangat unik dalam sejarah islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang  berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Illahi.
Nabi Muhammad adalah utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa di antara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Itulah kiranya mengapa ada 4 Al-khulafa al – Rasyidin.

ABU BAKAR (11-13H / 632-634 M)

Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi Wafat dan sebelum jenazah beliau di makamkan. Itulah antara lain yang menyebabkan kemarahan keluarga Nabi, khususnya Fatimah, putrid tunggal beliau.

Pada hari itu Umar Bin Khattab mendengar berita bahwa kelompok ansar mendengar berita sedang melangsungkan pertemuan di Saqifah atau Balai pertemuan Bani Saidah, Madinah, Untuk mengangkat Saad Bin Ubadah, seorang tokoh ansar dari suku khazraj, sebagai khalifah. Dalam keadaan gusar umat cepat cepat pergi kerumah kediaman Nabi dan menyuuh seseorang untuk menghubungi Abu Bakar, yang berada dalam rumah, dan memintanya supaya keluar. Semula Abu Bakar Menolak denagan alsan sedang sibuk. Tetapi akhirnya dia keluar setelah di beritahu telah terjadi peristiwa penting yang mengharuskan kehadiran Abu Bakar.

Sampai di balai pertemuan ternyata sudah datang pula sejumlah orang Muhajirin, dan bahkan telah terjadi perdebatan sengit antara kelompok Ansar dan kelompok Muhajirin.lalu Abu Bakar dengan nada tenang mulai berbicara. Kepada kelopok Ansar beliau mengingatkan bukan kah Nabi pernah bersabda bahwa kepemimpinan umat islam itu seyogianya berada pada tengah suku Quraisy, dan bahwa hanya pada di bawah pimpinan itulah akan terjamin keutuhan, keselamatan dan kesejahteraan bangsa Arab. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy untuk dipilih sebagai khalifah, Umar Bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarah. Orang orang ansar tampaknya sangat terkesan oleh ucapan Abu Bakar itu, dan Umar tidak menyia nyiakan momentum yang sangat baik itu. Dia bangun dari tempat duduknya dan menuju ke tempat Abu Bakar untuk ber baiat dan menyatakan kesetiannya kepada Abu Bakar sebagai Khalifah, seraya menyatakan bahwa bukanlah Abu Bakar yang selalu di minta oleh Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam sholat bilamana Nabi sakit, dan bahwa Abu Bakar adalah sahabat yang paling di sayangi oleh Nabi. Gerakan Umar itu diikuti oleh Abu Ubaidah bin Jarah. Tetapi sebelum kedua tokoh Quraisy itu tiba di depan Abu Bakar dan mengucapkan baiat, Basyir bin Saad, seorang tokoh Ansar dari suku Khazraj, mendahului mengucapkan baiatnya kepada Abu Bakar. Barulah kemudian Umar dan Abu Ubaidah serta para hadirin, baik dari kelompok Muhajirin maupun kelompok Ansar dari Aus. Baiat terbats ini kemudian terkenal dala sejarah Islam dengan nama Bai’at Saqifah atau baiat di bali pertemuan. Para sahabat senior tersebut kemudian seorang demi seorang, kecuali Zubair, dengan sukarela berbaiat kepada Abu Bakar. Zubair memerlukan tekanan dari Umar agar bersedia berbaiat. Adapun Ali bin Abu Thalib, menurut banyak ahli sejarah baru berbaiat kepada Abu Bakar setelah Fatimah, istri Ali, dan putri tunggal Nabi wafat 6 bulan kemudian.


B. UMAR BIN KHATTAB ( 13-23H / 634–644M )

Berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar, mendapatkan kepercayaan sebagai khallifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh pendahulunya. Pada tahun ketiga sejak menjabat khlifah, Abu Bakar mendadak jatuh sakit. Selama 15 hari dia tidak pergi ke masjid dan meminta kepada Umar agar mewakilinya menjadi imam sholat. Makin hari makin sakit Abu Bakar makin parah dan timbul perasaan padanya bahwa ajal sudah dekat. Sementara itu kenangan tentang pertentangan di balai pertemuan Bani Saidah masih segar dalam ingatannya. Dia khawattir kalau tidak segera menunjuk pengganti dan ajal segera datang, akan timbul pertentangan di kalangan umat islam yang dapat lebih hebat daripada ketika Nabi wafat dahulu. Bagi Abu Bakar orang yang paling tepat menggantikannya tidak lain adalah Umar bin Khattab. Maka dia mulai mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat senior yang kebetulan menengok di rumahnya. Diantara mereka adalah Abd al-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan dari kelompok Muhajirin, serta Asid bin Khudair dari kelompok Ansar. Pada dasarnya semua mendukung maksud Abu Bakar, meskipun ada beberapa diantaranya yang menyampaikan catatan Abd al-Rahman misalnya, mengingatkan akan sifat “keras” Umar. Peringatan itu dijawab oleh Abu Bakar bahwa Umar yang bersifat keras selama ini karena melihat sifat Abu Bakar yang biasanya lunak, dan kelak kalau Umar sudah memimpin sendiri dia akan berubah menjadi lebih lunak. Suatu hal yang cukup menarik ialah seusai berkonsultasi dengan Abd al-Rahman bin Auf dan Utsman bin Affan, Abu Bakar berpesan kepada mereka berdua agar tidak menceritakan isi pembicaraan itu kepada orang lain.

Abu Bakar memanggil Utsman bin Affan, lalu mendiktekan pesannya. Baru saja setengah dari pesan itu didiktekan, tiba tiba Abu Bakar jatuh pingsan, tetapi Utsman terus saja menuliskannya. Ketika Abu Bakar sadar kembali dia bertanya kepada Utsman supaya membacakan apa yang telah dia tuliskan. Utsman membacanya, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Abu Bakar telah menujuk Umar bin Khattab supaya menjadi penggantinya (sepeninggal dia nanti). Seusai dibacakan pesan yang sebagian ditulis oleh Utsman sendiri itu Abu Bakar menyatakan pula bahwa tampaknya Utsman juga ikut gusar terhadap kemungkinan perpecahan umat kalau pesan itu tidak diselesaikan.

Sesuai dengan pesan tertulis tersebut, sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab di kukuhkan sebagai khalifah kedua dalam suatu baiat dan terbuka di mesjid Nabawi.



C. UTSMAN BIN AFFAN ( 23-35H / 644-656M )

Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui proses lain lagi, tidak sama dengan Abu Bakar, tidak serupa pula dengan Umar. Dia dipilih oleh sekelompok orang yang nama namanya sudah di tentukan oleh Umar sebelum dia wafat.

Waktu itu datanglah sejunlah tokoh masyarakat mohon kepada Umar supaya segera menunjuk pengganti, karena mereka khawatir bahwa akibat luka lukanya itu Umar tidak akan hidup lebih lama lagi dan kalau sampai wafat tanpa terlebih dahulu menunjuk penggantinya di khawatirkan akan terjadi pertentangan dana perpecahan dikalangan umat. Tetapi Umar menolak memenuhi permintaan mereka dengan alasan bahwa orang orang yang menurut pendapatnya pantas ditunjuk sebagai pengganti sudah lebih dahulu meniggal. Bahkan Umar marah besar ketika tokoh tokoh tersebut mengusulkan agar dia menunjuk salah seorang putranya sendiri Abudulah Bin Umar. Akhirnya Umar menyerah tetapi tidak secara langsung menunjuk pengganti. Dia hanya menyebutkan enam sahabat senior dan merekalah nanti sepeninggalnya yang harus memilih seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah: Ali bin Abu Thalib, Usman bin Affan, Saad bin Abu Waqqas, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah, serta Abudllah bin Umar, putranya, tetapi “tanpa hak suara”. Menurut Umar dasar pertimbangan mengapa memilih enam orang tersebut, yang semuanya dari kelompok Muhajirin atau Quraisy, karena mereka berenam itu dahulu dinyatakan oleh Nabi sebagai calon calon pengurus surga, dan bukan karena mereka masing masing mewakili kelompok atau suku tertentu. Pesan Umar, sepeninggalnya nanti mereka berenam segera berunding dan dalam waktu paling lama tiga hari sudah dapat memilih salah seorang diantara mereka menjadi khalifah.

Setelah Umar wafat lima dari enam orang tersebut segaera bertemu untuk merundingkan pengisiian jabatan khalifah. Sejak awal jalannya pertemuaan itu sangat alot. Abd al-Rahman bin Auf menciba memperlancarnya dengan himbauan agar sebaiknya di anatara mereka dengan sukarela membuka diri dan memberi kesempatan kepada orang yang betul betul paling memenuhi syarat untuk dipilih sebagai khalifah. Tetapi himbauan itu tidak berhasil. Kemudian Abd al-Rahman sendiri menyatakan mengundurkan diri, tetapi tidak ada seorang pun dari empat orang yang lain itu mengikutinya. Dalam keadaan macet itu Abd al-Rahman bermusyawarah dengan tokoh tokoh selain ke empat orang tersebut. Mereka terbelah menjadi 2 kubu : pendukung Ali dan pendukung Utsman. Dalam pertemuaan berikutnya dengan empat rekannya, Abd al-Rahman menanyakan kepada Ali bin Abu Thalib, bahwa seandainya bukan dia (Ali), siapa menurut pendapatnya yang patut menjadi khalifah. Ali menjawab : Utsman. Pertanyaan yang sama di ajukan kepada Zubair dan Saad, dan jawaban mereka berdua sama : Utsman. Terakhir pertanyaan yang sama diajukan pula kepada Utsman dan Utsman menjawab Ali. Dengan demikian semakin jelas bahwa hanya dua calon untuk jabatan khalifah: Ali dan Utsman. Kemudian Abd al-Rhman menanyakan kepadanya seandainya dia di pilih menjadi khalifah, sanggupkah dia melaksanakan tugasnya berdasarkan Alquran, sunah Rosull dan kebijaksanaan dua khalifa sebelum dia. Ali menjawab bahwa dirinya berharap dapat berbuat sejauh pengetahuaan dan kemampuaannya. Abd al-Rahman berganti mengundang Utsman dan mengajukan pertanyaan yang sama kepadanya. Dengan tegas Utsma menjawab “ya! Saya sanggup”. Berdasarkan jawaban itu Abd al-Rahman menyatakan Utsman menjadi khalifah ketiga.



D. ALI BIN ABU THALIB (35-40H / 656-661M )

Ali bin Abu Thalib 12 tahun kemudian, diangkat menjadi khalifah yang ke empat melalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna. Setelah para pemberontak membunuh Utsman bin Affan, mereka mendesak Ali agar bersedia diangkat menjadi khalifah. Ali menolak desakan para pemberontak, dan menanyakan dimana peserta (pertempuran) Badar, dimana Thalhah, Zubair dan Saad, karena merekalah yang berhak menentukan tentang siapa yang harus menjadi khalifah. Maka muncul lah tiga tokoh senior itu dan berbaiat kepada Ali dan segera diikuti oleh orang banyak, baik dari kelompok Muhajirin maupun kelompok Ansar. Orang pertama yang berbaiat kepada Ali adalah Thalhah bin Ubaidillah.

Perlu kiranya dikemukakan bahwa terdapat perbedaan antara pemilihan terhadap Abu Bakar dan Utsman dan pemilihan terhadap Ali. Dalam dua pemilihan yang terdahulu meskipun mula mula terdapat sejumlah orang yang menentang, tetapi setelah calon calon itu terpilih dan diputuskan menjadi khalifah orang orang tersebut menerimanya dan ikut berbaiat serta menyatakan kesetiaannya termasuk Ali, baik kepada Abu Bakar maupun terhadap Utsman. Lain hal nya dalam pemilihan terhadap Ali penetapannya sebagai khalifah ditolak antara lain oleh Muawiyah bin Abu Sofyan, gubernur di Suria yang keluarga Utsman, dengan alasan : pertama Ali harus bertanggung jawabkan tentang terbunuhnya Utsman. Kedua, berhubung wilayah Islam telah meluas timbul komunitas Islam, maka hak untuk menentukan pengisian jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang berada di Madinah saja.



KEHIDUPAN POLITIK PASCA KHULAFAURRASYIDIN


A.BANI UMAYYAH

Nama Bani Umayyah dalam bahasa arab berarti anak turun Umayyah,yaitu Umayyah bin Abdul Syams,salah satu pemimpin dalam kabilah suku Quraisy. Abdul Syams adalah saudara dari Hasyim,sama-sama keturunan Abdul Manaf,yang menurunkan Bani Hasyim. Dari Bani Hasyim inilah lahir Nabi Muhammad.
Pada masa sebelum islam,Bani Umayyah selalu bersaing dalam Bani Hasyim. Pada waktu itu,Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim. Pada waktu itu,Bani Umayyah lebih berperan dalam masyarakat mekah. Hal itu disebabkan mereka menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung kepada pengunjung kakbah. Dipihak lain,Bani Hasyim adalah orang-orang yang berekonomi sederhana.
Keadaan mulai berubah pada waktu Nabi Muhammad SAW,salah seorang dari Bani Hasyim,mendapatkan wahyu Allah SWT untuk mengembangkan agama islam,Bani Umayyah merasa bahwa kekuasaan dalam perekonomiannya terancam. Oleh sebab itu,merka menjadi penentang utama dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW.

1.Awal Berdirinya

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW,pemerintahan islam dipegang oleh Abu Bakar as-Siddiq. Pada masa itu,Bani Umayyah merasa bahwa kelas mereka di bawah kaum Anshar dan Muhajitin. Hal itu disebabkan,mereka masuk islam pada gelombang yang terakhir,untuk mendapat kelas yang setingkat,mereka harus menunjukkan perjuangan mereka dalam perang membela islam. Ketika itu,Muawiyyah bin Abu Sufyan berjasa karena keterlibatannya dalam perang riddah untuk menumpas kaum murtad. Pada masa pemerintahan usman bin Affan,Muawiyyah bin Abu Sufyan  diangkat menjadi gubernur di Suriah menggantikan saudaranya. Bani Umayyah juga mendapatkan ketetapan bahwa mereka menjadi penguasa disana,sebagaimana orang Quraisy mendapatkan kekuasaan di Mekah. Hal itu juga disebabkan karena Usman bin Affan adalah salah seorang Bani Umayyah .
Masa pemerintahan Ali bin Abi Talib menjadi awal perpecahan umat islam. Hal ini disebabkan oleh kematian Usman bin Affan yang terbunuh.

2.Masa Pemerintahan

Muawiyyah bin Abu Sufyan mengawali pemerintahan 90 tahun Bani Umayyah di Damaskus. Dalam peristiwa amul jama’ah yang menjadi titik awal pemerintahan Bani Umayyah,Muawiyyah bin Abu Sufyan membuat kesepakatan dengan Hasan bin Ali. Isi kedepakatan itu, antara lain mengenai pergantian kekuasaan yang akan diserahkan kepada musyawarah umat islam. Umat islam berhak menentukan siapa yang akan menjadi khlifah,akan tetapi,muawiyyah bin Abu Sufyan melanggar kesepakatan itu. Ia mewariskan kekuasaan secara turun-temurun kepada anggota Bani Umayyah. Hal inilah yang menyebabkan munculnya perlawanan dari masyarakat yang kecewa terhadapnya.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan,umat islam menyebrangi sungai Oxus,menguasai daerah Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana dan Samarkan. Umat islam juga memasuki India dan menguasai Balukistan,Sind,Punjab,dan Multan.
Penyebaran islam dilanjutkan pada masa al-Walid nin Abdul Malik. Pada tahun 711 M,Tariq bin Ziyad menaklukan Aljazair dan Maroko. Ia bahkan menyebrang ke Spanyol dan menguasai Kordoba,Sevilla,Elvira,dan Toledo. Sebuah gunung batu tempat di mana Tariq bin Ziyad mendarat diabadikan dengan namanya,yaitu jabal Tariq dan sekarang termahsyur dengan nama Gibraltar. Sejak saat itulah islam mulai menyebar di Eropa serta mengembangkan berbagai macam ilmu pengetahuan dari sana.





3.Keruntuhan Bani Umayyah

Bani Umayyah mengalami keruntuhan oleh banyak hal,diantaranya adalah terbaginya kekuasaan Daulah Bani Umayyah ke dalam dua wilayah. Kholifah Marwah bin Muhammad berkuasa di wilayah semenajung Tanah Arab,dan Kholifah Yazid bin Umar berkuasa  di wilayah Wasit. Namun yang paling kuat diantara kedua wilayah tersebut adalah yang berpusat di Semenanjung Tanah Arab. Sehingga para pendiri kerajaan Daulah Bani Abbasiyah terus menerus mengatur strateginya untuk menumbangkan Kholifah Marwan dengan cara apapun,termasuk menghabisi nyawanya. Pembunuhan terhadap Marwan bin Muhammad dan Yazid bin Umar momwnt inilah yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran daulah Bani Umayyah yang sudah berkuasa selama 90 tahun.

B.BANI ABBASIYAH

1.Pembangunan Daulah Bani Abbasiyah

Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib,paman Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas,atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132-656/750-1258 M. Lima setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana khalifah islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad.
Tokoh pendiri Daulah Bani Abbasiyah adalah: Abul Abbas As-Saffah,Abu Ja’far Al-Mansur,Ibrahim Al-Imam dan Abu Muslim Al-Khurasani. Bani Abbasiyah mempunyai khalifah sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan Abul Abbas As-Saffah sampai Khalifah Al-Watsiq Billah agama islam mencapai masa keemasan ( 132-232 H/749-879 M). Dan pada masa kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan Al-Mu’tashim,islam mengalami masa kemunduran dan keruntuhan akibat serangan bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulakho Khan pada tahun 656 H/1258 M.


2.Perbedaan antara kekuasaan dinasti Abbasiyah dengan kekuasaan Dinasti bani Umayah,diantaranya adalah:

Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Orientid,artinya dalm segala hal para pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni,begitu pula corak peradaban yang di hasilakn pada dinasti ini.

Dinasti Abbasiyyah disamping bersifat arab murni,juga sedikit banyak telah terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia,Romawi Timur,Mesir dan sebagainya.
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah,luas wilayah kekuasaan islam semakin bertambah,meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah,antara lain Hijaz,YamanUtara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania,Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia,Al-jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India.

3.Bentuk-Bentuk peradaban islam pada masa Daulah abbasiyah

Adapun bentuk-bentuk peradaban islam pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:

a.Kota-Kota Pusat Peradaban
Diantara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adlah Baghdad dan Samarra. Baghdad merupakan ibu kota Negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Sedangkan kota Samarra terletak di sebelah timur sungai Tigris,yang berjarak + 60 km dari kota Baghdad. Didalamnya terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni bangunan islam di kota-kota lain.

b.Bidang Pemerintahan.
Dalam pembagian wilayah (provinsi),pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya dengan Imaraat,gubernurnya bergelar Amir/Hakim. Imaraat saat itu ada 3 macam yaitu: Imaraat Al-Istikhfa,Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaraat Al-Istilau. Kepada wilayah/imaraat ini diberi hak-hak otonomi terbatas,sedangkan desa/al-Qura dengan kepala desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh. Dinasti Abbasiyah juga telah membentuk angkatan perang yang kuat. Kholifah juga membentuk Baitul Mal/Departemen keuangan untuk mengatur keuangan Negara khususnya. Disampaing itu khalifah juga membentuk badan peradilan guna membantu khalifah dalam urusan hokum.

c.Bangunan Tempat Pendidikan dan Peribadatan
Diantara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan adlah madrasah. Madrasah yang terkenal saat itu adalah Madrasah Nizamiyah,yang didirikan di Baghdad,Isfahan,Nisabur,Basrah,Tabaristan,Hara dan Musol oleh Nizam al-Mulk seorang perdana mentri pada tahun 456-486 H. Selain madrasah terdapt juga Kuttab,sebagai lembaga pendidikan dasar dan menegah,Majlis Muhadhoroh sebahai tempat pertemuan dan diskusi para ilmuan,serta Darul Hikmah sebagai perpustakaan.
Disamping itu juga terdapat masjid seperti masjid Cordova,Ibnu Toulun,Al-Azhar dan lain sebagainya.

d.Bidang ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir,Ilmu Hadits,Ilmu Fiqih,Ilmu Kalam,Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa. Adapun Ilmu Aqli seperti: Ilmu Kedokteran,Ilmu perbintangan,Ilmu Kimia,Ilmu Pasti,Logika,Filsafat dan Geografi.
    
4.Kemunduran Daulah Bani Abasiyah
Kehancuran Dinasti Abbasiyah ini tidak terjadi dengan cara spontanitas, melainkan melalui proses yang panjang yang diawali oleh berbagai pemberontakan dari kelompok yang tidak senang terhadap kepemimpinan Kholifah Abbasiyah. Disampin itu juga kelemahan kedudukan kekholifahan dinasti Abbasiyah di Baghdad,disebabkan oleh luasnya wilayah kekuasaan yang kurang terkendali,sehingga menimbulkan disintegrasi wilayah.
Diantara kelemahan yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut:
a.    Mayoritas kholifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadinya dan cenderung hidup mewah.
b.    Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah,sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan
c.    Ketergantungan kepada tentara bayaran
d.    Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki dan Persia,yang menimbulkan kecemburuan bagi bangsa Arab murni.
e.    Permusuhan antar kelompok suku dan agama.
f.     Perang salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
Penyerbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Panglima Hulagu Khan yang menghancurleburkan kota Baghdad.




















Daftar Pustaka

Sadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah da pemikiran. Jakarta: UI Press,1990

Haludhi, khuslan dan Sa’id, Abdurrohim, Integrasi Budi Pekerti Dalam Pendidikan Agama Islam. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,2004

Dalam memilih seorang kepala negara, rakyat harus mencari orang yang paling utama (Al-afdhal). Tapi jika tidak ada kesepakatan orang yang paling utama maka menurut hukum sah mengangkat seorang yang kurang utama. Hal ini untuk mencegah tidak terjadi kekacauan di kalangan rakyat.

Selain itu, Al – Mawardi berpendapat diantaranya :
1. Tidak dibenarkan seorang kepada negara sendirian menunjukkan dan membaiat anak atau ayahnya sendiri menjadi putra mahkota, tanpa melalui musyawarah dengan anggota lembaga pemilih (ahl al – ihktiyar)
2. Seorang kepala negara boleh menunjukkan seorang putra mahkota baik anaknya maupun ayahnya sendiri. Karena posisi waktu adalah sebagai amir al – ummat dan yang mengatur urusan mereka yang dipandang bukan karena hubungan keturunan tapi karena jabatannya.
3. Kepada negara boleh sendirian menunjuk ayahnya menjadi putra mahkota, tapi tidak dibolehkan anaknya menjadi putra mahkota.
Menurut Al – Mawardi, suatu negara dapat terbentuk jika memiliki unsur-unsur yang pokok dalam kajian politik negara, diantaranya rakyat, wilayah tertentu, dan adanya pemerintahan atau pemimpin.





[1] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001), hal.106.
[2] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (UI – Press, 1990), hal.108.
[3] Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.107.
[4] Ibid, hal.109.
[5] Muhammad Iqbal, Op, Cit., hal.112.
[6] Munawir Sjadzali, Op, Cit., hal.211.
[7] Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), Cetakan keenam, hal.5.
[8] Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,Januari 1999), Cetakan kedua, hal.385.
[9] Imam Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al – Madzahib al - Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), cetkakan kesatu, hal.34.
[10] Suyut Pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 1997), cet ketiga, hal.207.
[11] Ibid, hal.208.
[12] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.24.
[13] Ibid, hal.63.
[14] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.120.
[15] Harun Nasution,Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analis Perbandingan, (UI; Press, 1986), Cet.Kelima, hal.13.
[16] Abu Zahroh,Op. Cit. hal.68.
[17] Munawir Sjazdali,Op. Cit. hal.217.
[18] Abu Zahroh,Op. Cit. hal.69 - 70.
[19] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.121.
[20] Ibid, hal.24.
[21] Munawir Sjadzali,Op. Cit. hal.218.
[22] Muhammad Iqbal,Op. Cit. hal.122., Harun Nasution, Op.cit., hal.38.
[23] Suyuti Pulungan,Op. Cit. hal.209.

Popular posts from this blog

10 Foto Syur Artis Indonesia Yang Bikin Heboh

pay per click advertising pay per click advertising [Putar Video SEKS: KLIK]   - Diabadikan, kata tersebut tampaknya sangat pantas untuk menilai sebuah jepretan  foto . Sangat wajar pula jika sebuah   pose  hanya dijadikan sebagai konsumsi pribadi. Lalu bagaimana jika   foto pribadi  itu tersebar ke publik? Dengan teknologi internet tampaknya hal-hal yang bersifat  pribadi  semakin tergadaikan. Bahkan, hal tersebut menimpa   artis-artis Indonesia . Ini dia   10 foto ‘nakal’ artis yang bikin heboh . 1. Mayangsari Pada 2009 lalu memang sedang hangat-hangatnya   hubungan ‘terlarang’ antara Mayangsari dan Bambang Trihatmodjo . Sempat tak mengakui terlibat   percintaan , namun   foto-foto nakal   mereka tersebar di internet. Ada beberapa   foto Mayang  mengenakan kimono terbuka yang memperlihatkan tubuhnya yang berbalut celana dalam dan bra.   Foto   tersebut cukup jelas memperlih...

Hadist Qouliyah, Fi’liyah dan Taqririyah

Hadits Qauliyah, Fi’liyah dan Taqririyah 1.       Hadits Qauli Yang dimaksud dengan hadist Qauli, ialah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengan kata lain hadist tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah maupun akhlaq. Diantara contoh Hadist Qauli adalah hadist tentang do’s Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang yang mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu. Hadist tersebut berbunyi: نَضَّرَ اللّهُ امْراءً سَمِعَ مِنَّاحَدِيْثًا فَحَفِظَةُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَاِنّهُ رُبَّ حَامِلٍ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍوَرُبَّ حَامِلٍ فِقْهٍ اِ لَى مَنْ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ ثَلاَ   ثٌ خِصَالٍ لاَيَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ اَبَدًا اِخْلاَ صُ الْعَمَلِ لِلّهِ وَمُنَا صَحَةُ وُلاَةِ الاْمرِ وَلُزُوْمُ الْجَمَاعةِ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرائِهِمْ (رواه احم...