BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran
Islam yang kedua setelah Alqur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman dan
pengontrol segala tingkah laku dan
perbuatan manusia. Untuk Alqur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai
kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi
belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan
setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupun Mutasabihat.
Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam
dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam
periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya
sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima);
Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam
periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal
dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu
(maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad
maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi
terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima
maupun meriwayatkan hadis Rasulullah. Berbagai macam hadis yang
menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas
kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah
tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas
sebuah hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti
metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas
sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,hasan dhaif
dan maudhu’ serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
B.
Rumusan Masalah
Dengan uraian latar belakang diatas penulis hendak menyajikan makalah yang
berkisar
pada permasalahan hadis sahih,hasan dhaif dan maudhu’ yang bertitik
tolak pada permasalahan, sebagai berikut:
- Pengertian,
syarat-syarat, pembagian, kehujjahan dan kitab-kitab hadis shahih;
- Pengertian,
Pembagian, Kehujjahan, Kitab-kitab Hadis Hasan;
- Pengertian,
pembagian, pengamalan dan kitab-kitab hadis dhaif;
- Pengertian,
sejarah munculnya, motivator, kaidah-kaidah untuk mengetahui, kitab-kitab
dan hukum meriwayatkan hadis maudhu’;
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hadis Shahih
1.
Pengertian dan syarat-syarat hadits shahih
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis shahih ialah hadis
yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari
orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak
mu’allal (terkena illat)[1]
Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:
“Hadis
yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain
yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa
illat”[2]
Dengan demikian Ajjaj
al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis untuk dapat disebut
sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya, b. Perawi-perawinya
adil[3]
c. Perawi-perawinya dhabit[4] d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang
diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat
keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a.
Hadis tersebut shahih musnad, yakni
sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b.
Hadis shahih bukanlah hadis yang
syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya , akan tetapi ia menyalahi
rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c.
Hadis shahih bukan hadis yang
terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis
tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar dari
illat.
Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis
shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya
perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah
hadis dikatakan shahih, jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil)
sampai ke rasulullah saw. dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit
tanpa adanya unsur syaz maupun mu’allal (terkena illat).
Dengan demikian apabila ada hadis
yang sanadnya munqathi’, mu’dal dan muallaq dan sebagainya, maka
hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih. Demikian halnya
dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat maupun syaz,
maka tidak dapat disebut hadis shahih.
Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisin
tentang hadis shahih diatas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri
hadis shahih, namun dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang
tidak sama, misalnya dalam hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan
periwayat thabaqah berikutnya harus betul-betul “serah terima” hadis, peristiwa
serah terima ini dapat dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya
dengan sebab
tidaklah menjamin bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara
langsung.
2.
Pembagian Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a.
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua
syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih
li Dzatihi” karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh
dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya
telah tercapai dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut penulis
kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ،
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ
مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ :
ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك
Hadis
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang
tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.
b.
Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi
(tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang
diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya,
dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih
melalui sanad pendukung yang lain.[7] Berikut contoh hadis shahih li ghairihi
yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ
سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ
صَلاة. ٍ
Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin
sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada
sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan
tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke
tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain,
yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada
ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin
adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang
diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya,
al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat
mengenai ashahhul asanid, ada yang mengatakan:
1)
Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari
Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2)
Sebagian lagi mengatakan: ashahhul
asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy dari Ibrahim an-Nakha’iy dari
Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3)
Imam Bukhari dan yang lain
mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam Malik ibn Anas dari
Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam Syafi’i merupakan
orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan Imam Ahmad
merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i, maka
sebagian ulama muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid
adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn
Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata rantai emas).[8]
3.
Kehujjahan Hadis Shahih.
Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang
kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum)
sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
"apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".
4. Kitab-kitab yang memuat Hadis
Shahih.
Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan
bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah[9]:
a.
Shahih
Bukhari
d. Shahih Ibn Hibban
b.
Shahih
Muslim
e. Shahih Ibn Khuzaimah
c.
Mustadrak al-Hakim
Sedangkan menurut Ajjaj
al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih adalah:
a.
Shahih
Bukhari
e. Sunan an-Nasa’i
b.
Shahih
Muslim
f. Sunan Ibn Majah
c.
Sunan Abu
Daud
g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d.
Sunan at-Tirmidzi
Nuruddin ‘Itr didalam
kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab
yang memuat hadis-hadis shahih antara lain[10]:
a.
al-Muwattha’
b.
Shahih
Bukhari
c.
Shahih Muslim
d.
Shahih Ibn Khuzaimah
e.
Shahih Ibn Hibban
B.
Hadis Hasan
1.
Pengertian Hadis Hasan
Hadis hasan ialah
hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya
(tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat.[12]
Perbedaan antara hadis Hasan
dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit
yang kurang untuk hadis hasan[13]
Ibn Hajar sebagaimana dinukil
Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad
yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil
tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li
dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li
dzatihi[14]
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis
shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya, kurang
ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [15]
Berdasarkan pada
pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis
merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya
saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau
lebih rendah dari perawi hadis shahih.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.
Sanad hadis harus bersambung.
b.
Perawinya adil
c.
Perawinya mempunyai sifat dhabit,
namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis
shahih
d.
Hadis yang diriwayatkan tersebut
tidak syaz
2.
Pembagian Hadis Hasan
Hadis
hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Hadis hasan li dzatihi
Hadis hasan li dzatihi adalah
hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana
tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke
derajat hasan.
b.
Hadis hasan li ghairihi
Hadis hasan li ghairihi
adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan
sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[17]
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis
dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan
berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat
tentu masih berstatus dha’if.
Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn
Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya,
Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan
sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.[18]
Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ مَعْبَدٍ
الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ
الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ
خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ
يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ
فَإِنَّهُ الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
Hadis tersebut diatas bersambung
sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad
al-Juhany menurut
adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang
yang kurang ke-‘adilan-nya.[19]
Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ
بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ
رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ
عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟" قَالَتْ : نَعَمْ
. قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه
الترمذي)
Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah
bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah
menikah dengan mahar sepasang sandal.
Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama)
dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena
buruk hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur
riwayat yang lain.[20]
Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua
ketentuan,yaitu:
a)
hadis tersebut diriwayatkan oleh
perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang
lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
b)
bahwa sebab kedha’ifannya karena
keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak
dikenal.[21]
Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah
hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah
seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid
dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi
hasan.
3.
Kehujjahan Hadis Hasan.
Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah
hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan
hukum maupun dalam beramal.
Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat
tentang kehujjahan hadis hasan ini.[22]
4.
Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if
adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran
dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis
hasan adalah[23]:
a.
Sunan at-Tirmidzy
b.
Sunan Abu Daud
c.
Sunan ad-Dar Quthny
C.
Hadis Dhaif
1.
Pengertian dan Pembagian Hadis
Dha’if
Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu
lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha’if
maknawiyah.
Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat
hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”[24]
Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif
ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
“hadis
yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat
hadis hasan”[25]
As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis
yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul,
atau dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis
maqbul”
Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat
dibagi kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena tidak
memenuhi syarat bersambungnya sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada
perawinya.
- Dhaif disebabkan karena tidak
memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis ini di bagi lagi menjadi
:
1) Hadis Mu’allaq
Hadis mu’allaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih
rawi baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya pada hadis yang diriwayatkan
oleh Bukhari:
قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى
"لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik
padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت العائشة كان النبى يذكر الله على كل أحواله
Disini
Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya
setelah tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat seperti ini”[26].
Contoh hadits ini adalah:
قال
مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini
Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara
antara nabi dan bapaknya.
3)
Hadis Munqathi'
Hadis
munqathi’ menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai
“hadis yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi”. Sedangkan menurut
para ulama hadis mutaakhkhirin adalah ”suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur
seorang perawi atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut” [27]
Contoh
hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن
حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat
yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi
Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis
dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang
sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis
yang munqthi’.
4)
Hadis Mu'dhal
Hadis
mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang gugur pada sanadnya dua atau lebih
secara berurutan.”[28].
Contohnya
:
Diriwayatkan
oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia
menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “rasulullah bersabda,
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما
يُطيق "
Al-Hakim
berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-mu’adalahan-nya
karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan, dari
bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan[29]
5)
Hadis Mudallas
Yaitu
hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri
dibagi menjadi beberapa macam;
a.
Tadlis Isnad, adalah hadis yang disampaikan oleh
seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan
orang itu namun ia tidak mendengar hadis tersebut langsung darinya. Apabila
perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadis tersebut padahal
kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan suatu
kebohongan/ kefasikan.
b.
Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan
beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau
misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”, kemudian diam
beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti
itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal
sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf
(dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong).
c.
Tadlis ‘Athaf (merangkai dengan kata sambung
semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh hadis dari
gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak mendengar hadis
tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d.
Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan
perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah sehingga hadis
tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat
diterima sebagai hadis shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis tadlis
yang paling buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
e.
Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat
kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya
nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah masyhur
dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan: “Orang yang
sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat
kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
f.
Termasuk dalam golongan tadlis
suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana
fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan).
Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,
adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum
dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau
karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadis
darinya dan lain sebagainya.
- Dhaif
karena terdapat cacat pada perawinya
Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada lima,
dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.
- Adapun
yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan,
c) berdusta, d) Fasik, e) bid’ah, f) al-Jahalah
(ketidakjelasan
- Adapun
yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) kesalahan yang, sangat
buruk, b) Buruk hafalan, c) Kelalaian, d) Banyaknya waham, e)
menyelisihi para perawi yang tsiqah
Dan
berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:
1)
Hadis Maudhu'
Hadis maudhu’ adalah hadis kontroversial yang di buat
seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih adalah
khabar yang di buat oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada
Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.[30] Contohnya adalah hadis tentang
keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat
Anas r.a:
قيل يارسول الله لم سمي رجب قال لأنه يترجب فيه خير كثبر
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun
adalah seorang pembohong dan pembuat hadis palsu.
2)
Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka
berdusta.[31] Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat
yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari
dhahak dari Ibn 'Abbas.
قال النبي عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء ...
الخ
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang
tidak dianggap hadisnya.
3)
Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang
dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan.[32] perawi itu tidak memenuhi syarat
biasa dikatakan seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang
rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak
hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.
4)
Hadis Majhul
a.
Majhul 'aini : hanya diketahui seorang saja
tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya hadis yang diriwayatkan
oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn
Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah
Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi
Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
b.
Majhul
hali : diketahui lebih adari satu orang
namun tidak diketahui jarh dan ta'dilnya.contoh hadis ini adalah
hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
ان عليا رضي الله عنه رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid
ibn Madkur dianggap majhul hali.
5)
Hadis Mubham
Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam rangkaian sanad-nya,
baik lelaki maupun perempuan.[33] Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah dari
seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو
داود
6)
Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan dengan
hadis lain yang riwayatnya lebih kuat[34].
7)
Hadis maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar
balikkan (mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di
belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
8)
Hadis mudraj
Secara
terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau
tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran
perawi terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan,
baik pada awal matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.
9) Hadis mushahaf
Hadits mushahaf
ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang
kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan
ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadis
menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.
Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits
Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits
2.
Pengamalan Hadits Dha’if
Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila dibandingkan
dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama melakukan
pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga
terjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
Ada
tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif:
a.
Hadis dhaif tidak bisa diamalkan
secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun ahkam. pendapat ini
diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakar ibn
Araby.
b.
Hadis dhaif bisa digunakan secara
mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad. Keduanya
berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan.
c.
Sebagian ulama berpendapat bahwa
Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau yang sejenis bila
memenuhi beberapa syarat.[35]
Ulama-ulama
yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal, mensyaratkan
kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:
1)
Kelemahan hadis itu tiada
seberapa.
2)
Apa yang ditunjukkan hadis itu juga
ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi, dengan arti bahwa
memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
3)
Jangan diyakini kala menggunakannya
bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai ganti memegangi
pendapat yang tidak berdasarkan pada nash sama sekali.[36]
3.
Kitab-kitab Yang diduga Mengandung Hadis Dhaif.
1.
Ketiga Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir,
al-Awsat, as-Shagir
2.
Kitab al-Afrad, karya ad-Daruquthny
3.
Kumpulan karya al-Khatib al-baghdadi
4.
Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul
Ashfiya’, karya abu Nu’aim al-Asbahani.
D.
Hadis Maudhu’
a.
Pengertian Hadis Maudhu’
Maudhu’ menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan
menurut istilah adalah:
”sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah
secara dusta”[37].
Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif
lainnya. Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif
dan maudhu’. Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri.[38]
Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu’
dinamakan juga hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.[39]
b.
Sejarah Munculnya Hadis Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis,
berikut pendapat mereka:
a.
Menurut Ahmad Amin bahwa hadis
maudhu’ terjadi sejak masa rasulullah masih hidup.
b.
Shalahuddin ad-Dabi mengatakan bahwa
pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah keduniaan yang terjadi pada masa
rasulullah saw.
c.
Menurut jumhur al-muhaddin,
pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.[40]
c.
Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis
Maudhu’
Hadis maudhu’ tidaklah bertambah kecuali bertambahnya bid’ah dan
pertikaian. Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan
oleh orang-orang islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam.
Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:
a.
Pertentangan Politik
Perpecahan umat islam terjadi
akibat permasalahan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib,
membawa pengaruh besar terhadap munculnya hadis-hadis palsu. Masing-masing
golongan berusaha mengalahkan lawannya dan berusaha mempengaruhi orang-orang
tertentu, salah satu usahanya adalah dengan membuat hadis palsu.
b.
Usaha Kaum Zindiq
Kaum Zindiq adalah
golongan yang membenci islam, baik sebagai agama maupun sebagai dasar pemerintahan.
Mereka merasa tidak mungkin dapat memalsukan Alqur’an sehingga mereka beralih
melakukan upaya pemalsuan hadis.[41] Dengan tujuan ingin menghancurkan islam dari
dalam.
c.
Sikap Fanatik Buta
Salah satu faktor upaya
pembuatan hadis palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta tehadap suku,
bangsa, negeri dan pimpinan
Contoh golongan yang fanatik
yaitu ash-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap bangsa persia, dia mengatakan
“Apabila Allah Murka, dia menurunkan wahyu dengan bahasa arab dan apabila
senang dia menurunkan dengan bahsa persia.[42]
d.
Mempengaruhi Kaum Awam Dengan
Kisah dan Nasehat
Kelompok yang melakukan
pemalsuan hadis ini bertujuan untuk memmperoleh simpati dari pendengarnya
sehingga mereka kagum melihat kemampuannya.[43] Hadis yang mereka katakan terlalu
berlebih-lebihan.
Bahkan ada hadis palsu yang
berbunyi: “nabi duduk bersanding dengan Allah diatas Arsy-nya”.
e.
Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu
kalam
Munculnya hadis palsu dalam
masalah fiqhi dan ilmu kalam, berasal dari para pengikut madzhab. Mereka
melakukan pemalsuan hadis karena ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
f.
Lobby dengan penguasa
Sebuah peristiwa yang terjadi
pada masa khilafah bani Abbasiyah, seorang yang bernama Ghiyats ibn Ibrahim
pernah membuat hadis yang disebutkannya didepan khalifah al-Mahdi yang
menyangkut kesenangan khalifah.[44]
g.
Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan.
Dikalangan para ahli ibadah
ada yang beranggapan bahwa membuat hadis-hadis yang bersifat mendorong agar
giat beribadah (targhib) adalah hal yang dibolehkan, dalam rangka ber-taqarrub
kepada Allah.[45]
d. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
Para ulama hadis menetapkan kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan
hadis maudhu’, sehingga hadis maudhu’ dapat diketahui dengan
beberapa hal, antar lain[46]:
a.
Pengakuan dari orang yang memalsukan
hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat Nuh bin Abi Maryam, yang digelari Nuh
al-Jami’, bahwa dia telah memalsukan hadis atas Ibnu Abbas tentang
keutamaan-keutamaan al-Qur’an surah persurah.
b.
Adanya indikasi pada perawi yang
menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya seorang perawi yang Rafidhah dan
hadisnya tentang keutamaan ahlul bait.
c.
Adanya indikasi pada isi hadis,
seperti: isinya bertentangan dengan akal sehat, atau bertentangan dengan indra
kenyataan, atau berlawanan dengan ketetapan agama yang kuat dan terang, atau
susunan lafazhnya yang lemah dan kacau, misalnya apa yang diriwayatkan
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya secara
marfu’,”bahwasanya kapal nabi Nuh thawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali dan
shalat dua raka’at di maqam Ibrahim.”
e. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari
orang yang mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai
dengan penjelasan akan kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi saw:
“barang
siapa yang menceritakan hadis dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta,
maka dia termasuk para pendusta.”(HR.Muslim)
f.
Kitab-kitab Hadis Maudhu’:
a.
al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi
b.
al-La’ali al-Ma’shum fi al-Hadis
al-Maudhu’ah,
karya as-Suyuthi
c.
Silsilah al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Albani.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian makalah yang penulis paparkan diatas, dapat disimpulkan beberapa
hal.
1. Hadis Shahih
- Hadis
shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang
yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai
ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).
- Syarat-syarat
hadis shahih antara lain: a. Muttashil sanadnya b.Perawi-perawinya adil
c.Perawi-perawinya dhabit d.yang diriwayatkan tidak syaz e.yang diriwayatkan
terhindar dari illat qadihah(illat yang mencacatkannya).
- Hadis
shahih terbagi atas dua:
1.shahih
lidzatihi
2.shahih
li ghairihi
- Tidak
terdapat perbedaan ulama tentang kehujjahannya terutama dalam masalah
penentuan hukum sesuatu.
- Kitab-kitab
yang memuat hadis shahih, antara lain:
1)
Shahih
bukhari
7) Shahih Ibn Khuzaimah
2)
Shahih
muslim 8) Sunan Abu Daud
3)
Mustadrak
al-Hakim 9) Sunan
at-Tirmidzi
4)
Shahih Ibn
Hibban
10) Sunan an-Nasa’i
5)
Shahih Ibn
Khuzaimah 11) Sunan Ibn Majah
6)
Sunan Abu Daud
2.
Hadis Hasan
- Hadis
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil
yang adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat
ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat.
- Kriteria
hadis hasan :
1)
Sanad hadis harus bersambung.
2)
Perawinya adil
3)
Perawinya mempunyai sifat dhabit,
namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis
shahih
4)
Hadis yang diriwayatkan tersebut
tidak syaz
5) Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat
yang merusak (qadihah)
a.
Hadis hasan dibagi menjadi dua
yaitu:
a.
hasan li dzatihi
b.
hasan li ghairi
b. Hadis hasan sebagaimana kedudukan
hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih,
adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam
beramal
c.
Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
a.
Sunan at-Tirmidzy
b.
Sunan Abu Daud
c.
Sunan ad-Dar Quthny
3. Hadis Dhaif
a. Hadis dhaif adalah “hadis yang didalamnya
tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak
pula didapati syarat hadis hasan
b. ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka
dapat dibagi kepada dua
bahagian:
1.
Dhaif disebabkan karena tidak
memenuhi syarat bersambungnya sanad, yang tergolong didalamnya antara lain:
a.
Mu’allaq
b.
Mursal
c.
Munqathi'
d.
Mu'dhal
e.
Mudallas
2.
Dhaif karena terdapat cacat pada
perawinya, yang tergolong didalamnya antara lain:
a.
Maudhu'
g. Mudhtharab
b. Munkar
h. Mudarraj
c.
Majhul
i. mu'allal
d. Matruk
j. Musalsal
e.
Mubham
k. Mukhtalith
f.
Syadz
l. mudha'af
c. Terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai
pengamalan hadis
dhaif, mengenai hal ini ada tiga pendapat:
1)
Hadis dhaif tidak bisa diamalkan
secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun ahkam.
2)
Hadis dhaif bisa digunakan secara
mutlak, hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan
3)
Sebagian ulama berpendapat bahwa
Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau yang sejenis bila
memenuhi beberapa syarat
d. Kitab-kitab Yang diduga Mengandung
Hadis Dhaif
1)
Ketiga Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir,
al-Awsat, as-Shagir
2)
Kitab al-Afrad, karya ad-Daruquthny
3)
Kumpulan karya al-Khatib al-baghdadi
4.
Hadis Maudhu’
a. Hadis maudhu’ adalah “sesuatu yang diciptakan dan
dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah secara dusta”
b.
Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’
1).
Pertentangan Politik
2).
Usaha Kaum Zindiq
3).
Sikap Fanatik Buta
4).
Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah dan Nasehat
5). Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam
6).
Lobby dengan penguasa
7).
Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan
c.
Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’
1) Pengakuan dari orang yang memalsukan
hadis
2) Adanya indikasi pada perawi yang
menunjukkan akan kepalsuannya
3) Adanya indikasi pada isi hadis
d.
Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
Para
ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang yang
mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan
akan kemaudhu’annya Fsafsa
e.
Kitab-kitab Hadis Maudhu’
1).
al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi
2).
al-La’ali al-Ma’shum fi al-Hadis al-Maudhu’ah, karya as-Suyuthi
3).
Silsilah al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Albani
DAFTAR
PURSTAKA
Hasyim, Ahmad Umar, Taysir
Musthalah al-Hadis,[t.d]
Rahman, Fathur Ikhtishar, Mushthalah
Hadis, Bandung: al-Ma’arif ,1991
Fattah, Ibrahim Abdul, Alqaul
al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif , Kairo: Dar Thiba’ah
al-Muhammadiyah, 1992
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd Fi
‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo,
‘Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosda Karya,
Cet.II, 1997
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: PT.Bulan Bintang,1987)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul
Hadis Ulumuhu wamusthalahatuhu, Beirut: Dar
al-Fikr, 1975
Mudassir, Ilmu Hadis, Bandung, 2007
Yuslem, Nawir, Ulumul hadis,[t.t],
Mutiara sumber Widya, 2001
al-Qatthan , Manna’ Khalil, Mabahits
Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol
Abdurrahman dalam judul Pengantar
ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006
Sayyidi ,Taufiq Umar, Manhaj
ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah, [t.d]
Shalih, Subhi, Ulumul Hadis
Wamustalahatuhu, Beirut; Dar al‘Ilm, 1988.
[1] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu
wamusthalahatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 304
[3] Kata”adil” menurut muhaddisin adalah: lurus agamanya, baik
budi pekertinya,bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan perawinya.
[4] ”dhabit” ialah: yang kuat ingatan,dan hafal secara
sempurna.Dhabit terbagi atas dua macam, pertama: dhabt shadr yaitu perawi
memiliki daya hafal yang kuat dan mampu menyuguhkannya kapan saja.kedua:”dhabt
kitab” yaitu pemeliharaan melalui penulisan teks dan hafalan.dengan tingkat
ketelitian yang tinggi.
[9] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi ‘Ulum
al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol Abdurrahman dalam judul Pengantar
ilmu Hadis, (jakarta: Pustaka al-Kautsar cet.II, 2006) h. 119-120
[10] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis(Damaskus:Dar
al-Fikr) yang diterjemahkan oleh Mujiyo, ‘Ulum al-Hadis(Bandung: Remaja
Rosda Karya, Cet.II, 1997)h. 12
[25] Ibrahim Abdul Fattah, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis
ad-Dhaif (Kairo: Dar Thiba’ah al-Muhammadiyah, 1992) h. 6