I.
PENDAHULUAN
Tidak perlu diragukan
lagi bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Mengingat
begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus
dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang berkepentingan
terhadapnya.
Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujjah.Hadis ada yang dapat dipakai ada yang tidak.Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya.
Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi hadis.Buah dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis (sanad).Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relatif mapan yang ditunjang dengan perangkat pendukungnya.Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dan lebih akurat dengan kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih banyak.
Sementara itu, untuk studi matan atau teks hadis yang di dalamnya memuat informasi-informasi dari atau tentang Nabi Muhammad SAW, secara metodologis masih cukup tertinggal.Karena itulah masih diperlukan upaya untuk mengembangkan atau merumuskan kaidah dan metode untuk studi matan hadis.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan kaidah kesahihan hadis, baik dari aspek sanad maupun matannya juga klasifikasi kaidah-kaidah tersebut. Untuk menambah informasi, sebelumnya akan dijelaskan latar belakang pentingnya penelitian hadis.
Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujjah.Hadis ada yang dapat dipakai ada yang tidak.Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya.
Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi hadis.Buah dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis (sanad).Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relatif mapan yang ditunjang dengan perangkat pendukungnya.Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dan lebih akurat dengan kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih banyak.
Sementara itu, untuk studi matan atau teks hadis yang di dalamnya memuat informasi-informasi dari atau tentang Nabi Muhammad SAW, secara metodologis masih cukup tertinggal.Karena itulah masih diperlukan upaya untuk mengembangkan atau merumuskan kaidah dan metode untuk studi matan hadis.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan kaidah kesahihan hadis, baik dari aspek sanad maupun matannya juga klasifikasi kaidah-kaidah tersebut. Untuk menambah informasi, sebelumnya akan dijelaskan latar belakang pentingnya penelitian hadis.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Bagaimana Latar belakang pentingnya
penelitian Hadis?
III.
PEMBAHASAN
1.
latar
belakang penelitian hadis
Allah telah memberi
kedudukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah dengan fungsi dan atau
tugas antara lain untuk: (1) Menjelaskan al-Qur’an, (2) dipatuhi oleh
orang-orang yang beriman, (3) menjadi uswatun hasanah dan rahmat bagi sekalian
alam.Berangkat dari pemahaman tersebut, maka untuk mengetahui hal-hal yang
harus diteladani dan yang tidak harus diteladani dari diri Nabi diperlukan
penelitian. Dengan demikian, akan dapat diketahui hadis Nabi yang berkaitan
dengan ajaran dasar Islam, praktek Nabi dalam mengaplikasikan al-Qur’an sesuai
dengan tingkat budaya masyarakat yang sedang dihadapi oleh Nabi, dan
sebagainya.
Selanjutnya menurut
sejarah, tidaklah seluruh hadis telah ditulis pada zaman Nabi.Hadis yang
tertulis, baik secara resmi, misalnya berupa surat-surat Nabi kepada para
penguasa non-Muslim dalam rangka dakwah, maupun yang tidak resmi yang berupa
catatan-catatan yang dibuat oleh para sahabat tertentu atas inisiatif mereka
sendiri, jumlahnya tidak banyak.Dalam pada itu, hadis Nabi telah pernah
mengalami pemalsuan-pemalsuan.Pada zaman Nabi, pemalsuan hadis belum pernah
terjadi. Dalam sejarah, pemalsuan hadis mulai berkembang pada zaman Khalifah
Ali bin Abi Thalib (w.40H/661M).
Hal-hal yang berkenaan
dengan hadis tersebut merupakan sebagian dari faktor-faktor yang
melatarbelakangi pentingnya penelitian hadis. Faktor-faktor penting lainnya
adalah proses penghimpunan hadis ke dalam kitab-kitab hadis yang memakan waktu
cukup lama sesudah Nabi wafat, jumlah kitab hadis yang begitu banyak dengan metode
penyusunan yang beragam dan telah terjadinya periwayatan hadis secara makna.
Akibat lebih lanjut dari faktor-faktor tersebut adalah keharusan adanya
penelitian sanad dan matan hadis dalam kedudukan sebagai hujjah. Dengan
dilakukan kegiatan studi sanad dan matan, maka akan dapat diketahui apa yang
dinyatakan sebagai hadis Nabi itu memang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan berasal dari beliau. Dalam konteks inilah kaidah
kesahihan hadis diperlukan sebagai pisau bedah untuk menganalisis suatuhadis
sehingga diketahui kualitasnya.[1]
2.
Kaidah-kaidah Kesahihan Hadis
a.
Unsur-unsur Kaidah Mayor
Sebelum diuraikan unsur-unsur kaidah mayor lebih lanjut, perlu
dijelaskan arti dari kaidah itu sendiri. Secara etimologis, kata kaidah berasal
dari bahasa arabقاعدة yang artinya alas bangunan, aturan atau undang-undang. Kaidah
juga diartikan sebagai norm (norma), rule (aturan), atau principle (prinsip).
Dalam konteks makalah ini, kaidah kesahihan hadis dipahami sebagai
aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang telah dirumuskan oleh para ulama hadis
untuk meneliti tingkat kesahihan suatu hadis.
Kaidah kesahihan hadis dapat diketahui dari pengertian hadis sahih itu
sendiri. Para ulama telah memberikan definisi hadis sahih yang telah diakui dan
disepakati kebenarannya oleh para ahli hadis, di antaranya sebagai berikut :
الحديثالصحيحهوالحديثالذياتصلسندهبنقلالعدلالضابطعنالعدلالضابطالىمنتهاهولايكونشاذاولامعللا
“Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), yang diriwayatkan oleh rawi (periwayat) yang ‘adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan (di dalam hadis hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) serta tidak mengandung cacat (‘illat).”
الحديثالصحيحهوالحديثالذياتصلسندهبنقلالعدلالضابطعنالعدلالضابطالىمنتهاهولايكونشاذاولامعللا
“Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), yang diriwayatkan oleh rawi (periwayat) yang ‘adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) ‘adil dan dhabith sampai akhir sanad, dan (di dalam hadis hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) serta tidak mengandung cacat (‘illat).”
Menurut ta’rif Muhaddisin tersebut, bahwa suatu hadis dapat dinilai
sahih apabila memenuhi syarat-syarat atau unsur:
1)
Sanadnya bersambung : artinya tiap-tiap perawi
(periwayat) dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari
orang yang ditanyanya dari sejak awal hingga akhir sanadnya. Atau bahwa tiap-tiap
rawinya bertemu dengan marwi ‘anhunya
2)
Rawinya bersifat ‘adil : artinya tiap-tiap perawi itu
seorang muslim, balig, jauh dari maksiyat, bukan fasiq dan tidak pula jelek
perilakunya, gigih dalam memelihara muru’ah.
3)
Rawinya bersifat
dhabith : artinya masing-masing perawinya sempurna daya ingatannya, baik berupa
ingatan dalam dada (dhabith ash-shadr) maupun dalam kitab (dhabith al-kitab).
Para rawi tersebut dalam keadaan sadar tatkala menerima hadis, paham terhadap
hadis yang ia terima dan mampu memelihara keaslian hadis-hadis yang ia terima
sejak menerimanya dari guru sampai saat menyampaikannya pada murid.
4)
Dalam hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan
(syudzudz) : artinya hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan
atau menyelisihi orang yang terpercaya dari lainnya, dengan kata lain tidak
berlawanan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih. Dan
5)
Dalam hadis itu tidak terdapat cacat (‘illat) : artinya
hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi
yang dapat mencederai pada kesahihan hadis, sementara dlahirnya selamat dari
cacat.
Ibnu
Ash-Shalah berpendapat, bahwa syarat hadis sahih seperti tersebut di atas,
telah disepakati oleh para muhaddisin.Hanya saja, kalaupun mereka berselisih
tentang kesahihan suatu hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri,
melainkan adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya
sifat-sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan
sebagaian sifat-sifat tersebut.Misalnya Abiz Zinad mensyaratkan bagi hadis
sahih, hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan
menyampaikan hadis.
Ibnu As- Sam’any mengatakan, bahwa hadis sahih itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (‘adil dan dhabith) saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang diriwayatkan, banyak sekali hadis yang telah didengarnya dan kuat ingatannya.
Ibnu Hajar tidak sependapat tentang ketentuan-ketentuan syarat-syarat hadis sahih sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama-ulama tersebut.Syarat-syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh Abiz Zinad itu sudah tercakup dalam persyaratan dhabith, sedang syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-Sam’any sudah termasuk dalam syarat tidak ber’illat. Karena dengan diketahuinya bahwa suatu hadis itu tidak ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang yang sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya.
Dengan demikian persyaratan atau kaidah umum sebagaimana tersebut pada definisi di atas dipandang sudah memiliki tingkat akurasi dan akseptabilitas yang tinggi di mata para ahli hadis.
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedang dua unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan. Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan dengan matan. Persyaratan umum ini dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor, sedang masing-masing unsurnya memiliki syarat-syarat khusus; dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor.
Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat dipadatkan menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illat dimasukkan pada unsur pertama dan ketiga.Pemadatan unsur-unsur ini tidak mengganggu substansi kaidah sebab hanya bersifat metodologis untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.
Ibnu As- Sam’any mengatakan, bahwa hadis sahih itu tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (‘adil dan dhabith) saja, tetapi juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang diriwayatkan, banyak sekali hadis yang telah didengarnya dan kuat ingatannya.
Ibnu Hajar tidak sependapat tentang ketentuan-ketentuan syarat-syarat hadis sahih sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama-ulama tersebut.Syarat-syarat sebagaimana yang dikemukakan oleh Abiz Zinad itu sudah tercakup dalam persyaratan dhabith, sedang syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-Sam’any sudah termasuk dalam syarat tidak ber’illat. Karena dengan diketahuinya bahwa suatu hadis itu tidak ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang yang sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya.
Dengan demikian persyaratan atau kaidah umum sebagaimana tersebut pada definisi di atas dipandang sudah memiliki tingkat akurasi dan akseptabilitas yang tinggi di mata para ahli hadis.
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedang dua unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan. Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan dengan matan. Persyaratan umum ini dapat diberi istilah sebagai kaidah mayor, sedang masing-masing unsurnya memiliki syarat-syarat khusus; dan yang berkaitan dengan syarat-syarat khusus itu dapat diberi istilah sebagai kaidah minor.
Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat dipadatkan menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindar dari syudzudz dan terhindar dari ‘illat dimasukkan pada unsur pertama dan ketiga.Pemadatan unsur-unsur ini tidak mengganggu substansi kaidah sebab hanya bersifat metodologis untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.
b.
Unsur-unsur Kaidah Minor dalam Sanad
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi kesahihan sanad disertakan
kaidah minornya , maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut:
Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a)
muttasil (bersambung)
b)
Marfu’ (bersandar kepada Nabi SAW)
c)
mahfuzh (terhindar
dari syudzudz)
d)
bukan mu’all (bercacat).
Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat
bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor:
a)
beragama Islam.
b)
mukallaf (balig dan berakal sehat)
c)
melaksanakan ketentuan agama Islam.
d)
memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa
pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan
kebiasaan-kebiasaan).[2]
3. Metodologi
penelitian hadis
Hadis yang di kutip
kedua ( riwayat Abu Hurairah tentang perintah menulis untuk diberikan kepada
Abu Syah) terjadi pada Fathu makkah, sedang hadist riwayat Abu Sa’id al-Khudri
yang berisi larangan menulis selain Al-Qur’an terjadi sebelum fathu makkah.
Menurut pengakuan Abu
Hurairah, yang membedakan dirinya dengan Abulla bin Amr adalah soal mencatat
Hadis yakni Abu hurairah hanya mengandalkan Hafalan, sedang Abdullah selain
menghafal juga menulis Hadis-hadis yang diterima dari Nabi. Kata Syakir lebih
lanjut pengakuan Abu Hurairah itu menunjukan bahwa kegiatan menulis yang
dilakukan oleh Ibnu Amr itu adalah pada masa setelah Abu hurairah menolak islam. (Abu Hurairah
masuk islam sekitar tiga tahun sebelum Nabi wafat).
Ahmad Muhammad Syakir
juga menolak pendapat yang menyatakan Bahwa hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri
itu mauquf.Menurut penelitian Syakir,
hadis tersebut marfu’ dan berkualitas
shahih.Pendapat Syakir didukung oleh sebagian ulama’, misalnya Muhammad
AS-sabbag.
Dr.Muhammad Ajjaj
al-Khatib dalam tesis dan disertasinya mengemukakan pendapatnya, setelah
mengutip pendapat ulama, bahwa:
1. Semua
hadis tersbut berkualitas sahih, tidak ada yang mauquf.
2. Tiga
pendapat berikut ini dapat dihimpun sebagai pendapat yang benar, yakni:
a. Larangan
berlaku bila penulisan hadis dijadika satu catatan dengan penulisan Al-Qur’an.
b. Mungkin
larangan berlaku untuk menulis hadis dalam satu himpunan pada masa awal islam,
sebab dikhawatirkan umat islam terganggu untuk menghafal dan mencatat
Al-qur’an, sedang untuk mempelajari hadis, para sahabat dapat langsung
menyaksikan dan mengikuti rasulullah. Pada masa itu, kepada orang yang tidak
dikhawatirkan mencapuradukan catatan Al-Qur’an dan Hadis, misalnya Abdullah bin
Amr ditoleransi untuk mencatat Hadis. Demikian pula kepada orang yang lemah hafalanya,
dia diperbolehkan untuk mencatat hadis.
c. Tatkala
umat islam telah mampu memelihara hafalan dan bacaan Al-Qur’an, maka larangan
penulisan hadis dihapus (manshuki) dan secara umum menulis hadis diperbolehkan.
Terlapas
dari perbedaan-perbedaan pendapat yang ada sebagaimana dikemukakan diatas, maka
yang jelas bahwa matn-matn hadis yang tampak bertentangan itu telah dapat
diseleaikan dan tidak menjadikan salah satu matn berkualitas lemah, tetapi
masing-masing berkualitas sahih. Dari keempat cara penyelesaian yang telah
disebutkan, maka hanya cara at-tauif
yang tidak muncul. Hal itu dapat dimengerti karena penyelesaian terhadap
kandungan matn hadis yang tampak bertentangan telah dapat dicapai.
Natijah yang dapat
dikemukakan dalam hal ini ialah bahwa seluruh matn hadis yang dikutip diatas
sahih.Seluruh sanadnya (setelah diteliti tersendir) juga sahih.Karenanya,
hadis-hadis tersebut berkualitas sahih.[3]
IV.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan yang telah di kemukakan di atas secara konklusif dapat kami ambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Kajian atau penelitian terhadap hadis penting dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya:
Kajian atau penelitian terhadap hadis penting dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya:
1) Rasulullah
SAW merupakan uswah hasanah, sebagai sumber keteladanan bagi umat, dan untuk
mengetahui hal-hal yang harus diteladani yang berasal dari Rasul, mengkaji dan
meneliti hadis menjadi sebuah keharusan.
2) Tidak
semua hadis ditulis pada zaman Nabi dan hanya sebagian kecil saja.
3) Fakta
historis munculnya hadis-hadis palsu yang berkembang sejak masa khalifah ali
bin Abi Thalib.
4) Proses
penghimpunan hadis ke dalam kitab-kitab hadis yang memakan waktu cukup lama.
5) Jumlah
kitab hadis yang begitu banyak dengan metode penyusunan yang beragam; serta.
6) Telah
terjadinya periwayatan hadis secara makan.
Kaidah kesahihan hadis dapat dirumuskan dari pengertian hadis sahih itu sendiri yang dapat diurai menjadi unsur-unsur sebagai berikut.
Kaidah kesahihan hadis dapat dirumuskan dari pengertian hadis sahih itu sendiri yang dapat diurai menjadi unsur-unsur sebagai berikut.
1) Sanad
bersambung.
2) Rawinya
bersifat adil.
3) Rawinya
bersifat dhabit.
4) Tidak
terdapat kejanggalan (syudzudz)
5) Tidak
terdapat cacat (‘illat)
Tiga
unsur yang pertama berhubungan dengan sanad dan dua yang akhir berkaitan dengan
sanad dan matan.Persyaratan umum itu diistilahkan sebagai kaidah mayor, sebab
masing-masing unsurnya memiliki syarat-syarat khusus yang diberi istilah
sebagai kaidah minor.
V.
PENUTUP