Hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau
aturan-aturan untuk :
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana
yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal
apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana”
dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang
digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut
beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi dan
Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan
konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah
itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak
hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah
sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan
atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia
sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang. Hukum Pidana Nasional,
sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana antara lain :
1.
Buku
I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
2.
Buku
II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3.
Buku
III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak
pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain:
2.
UU
No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
3.
UU
No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. Dll
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai
Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan
istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering
mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu
undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atauperbuatan pidana atau
tindak pidana. Tindak pidana
merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu
hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri
tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam
perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai
terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah:
a. Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita
dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita menggunakan
istilah ini.
b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, Mr. R.
Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana.Dan para ahli hukum lainnya.
c. Delik, berasal dari bahasa latin “delictum” digunakan untuk menggambarkan
apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa
literatur, misalnya Drs. E. Utrect, S.H.
d. Pelanggaran Pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana
yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.
e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam
bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.
f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undang-undang
dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak (baca pasal3 )
g. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatnomdalam beberapa
tulisan beliau.
Setiap tindak
pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada
umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif
dan unsur objektif.
a. Unsur subjektif adalah
unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri
si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di
dalam hatinya.
b. Sedangkan
unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan dari
si pelaku itu harus di lakukan.
Jenis-Jenis
Tindak Pidana dapat dibedakan
atas dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut :
a. Kejahatan dan
Pelanggaran
b. Delik formil dan delik mateeriil
c. Delik dolus dan delik culpa
d. Tindak Pidana aktif (Delik commisionis) dan
Tindak Pidana Pasif
e. Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana Berlangsung
Terus
f. Tindak Pidana Khusus dan Tindak Pidana Umum
g. Tindak Biasa dan Tindak Pidana Aduan
Kesalahan dalam arti luas: memiliki
pengertian yang sama dengan pertanggungjawaban dalam hukun pidana. Kesalahan
dalam arti sempit: kesalahan berarti ke-alpaan.
Kesalahan dalam arti bentuk
kesalahan :
a. Kesalahn disengaja (dolus/opzet):
Prinsip dari kesengajaan dalam MvT adalah mengetahui (weten) dan menghendaki (willen)
b. Kesalahan karena ke alpaan: Kealpaan
terjadi bila pelaku mengetahui tetapi secara tidak sempurna karena dalam
kealpaan seseorang mengalami sifat kekurangan (kurang hati-hati, kurang teliti
dsb.)
Unsur-unsur
kesalahan atau syarat seseorang dapat di ertanggungjawabkan dalam hukum pidana:
a. Adanya kemampuan
bertanggungjawab
b. Adanya hubungan bathin antara pelaku
dengan perbuatannya (dolus atau ulpa)
c. Tidak adanya
alasan-alasan penghapus kesalahan (schuld uitsluitsground)
Istilah kesalahan:
a. Schuld: kesalahan
b. Schuld-verbad:
kesalahan si pelaku tindak pidana
c. Geenstrafbaar feit
zonder schuld: suatu tindak pidana yang pelakunya dapat di jatuhu hukuman
pidana
d. Dolus/opzet:
kesengajaan
e. Ulpa:
kealpaan/lalai
Masalah pertanggujawaban dan
khususnya pertanggujawaban pidana mempunyai kaitan yang erat dengan beberapa
hal yang cukup luas. Dapat dipermasalahkan antaralain:
Ada tidaknya kebebasan manusia untuk
menentukan kehendak? Antara lain ditentukan oleh indeterminisme dan
determinisme.
Tingkat kemampuan bertanggung jawab:
mampu, kurang mampu, atau tidak mampu. Tentang kemampuan bertanggung
jawab ini terdapat beberapa batasan yang dikemukakan oleh para ahli, antara
lain:
a. Simons
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan suatu keadaan
psikis sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik
ditinjau secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan , selanjutnya
dikatakannya, seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggung jawab apabila:
1)
Mampu
mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.
2)
Mampumenentukan
kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi.
b. Van Hamel
Kemampuan
bertanggung jawab adalah keadaan normalitas kejiwaan dan kematangan yang
membawa tiga kemampuan yaitu:
1) Mengerti akibat atau nyata dari
perbuatan itu sendiri.
2) Menyadari bahwa perbuatannya tidak
diperbolehkan oleh masyarakat.
3) Mampu menentukan kehendaknya untuj
berbuat.
c. Pompe
Batasannya
membuat beberapa unsure tentang pengertian toerekeningsvatbaar
heid adalah:
1) Kemampuan berpikir pada pelaku yang
memungkinkan pelaku menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya.
2) Pelaku dapat mengerti makna dan
akibat tingkah lakunya.
3) Pelaku dapat menentukan
kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
d. Memori van Toeliching
Dikatakan
bahwa tidak mampu bertanggung jawab pada pelaku apabila:
1. Pelaku tidak diberi kebebasan untuk
memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yangoleh undang-undang
dilarangnatau diharuskan denganperkataan lain dalam hal perbuatan yang
terpaksa.
2. Pelaku dalam keadaan tertentu
sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum dania tidak mengerti akibat perbuataanya itu,dengan
perkataan lain adanya keadaan payologis seperti gila, sesat, dan sebagainya.
e. Soedarto
Definisi
atau batasan tentang kemampuan bertanggung jawab itu ada manfaatnya. Tetapi
setiap kali dalam kejadian konkret dalam praktik peradilan, menilai seorang
terdakwa dengan ukuran tersebut diatas tidaklah mudah.
Sebagai dasar dapat dikatakan bahwa
orang yang normal jiwanya mampu bertanggung jawab, ia mampu menilai dengan
pikiran dan perasaanya bahwa perbuatan itu dilarang, artinya tidak dikehendaki
oleh undang-undang, dan ia seharusnya berbuat seperti pikiran dan perasaannya
itu.
1.
Pengertian Kesengajaan
Seperti yang telah disebutkan diatas
bahwa kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan.
Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu
tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa). Karenanya
ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya kesenggajaan
daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan
dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan
dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan
(pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.
Lalu apa itu
yang disebut dengan kesenggajaan? KUHP kita tidak memberi definisi mengenai hal
tersebut. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas
ditentukan: “Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan
menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.
2.
Teori-Teori
Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang
yang berbuat dengan sengaja, yang berisi “menghendaki dan mengetahui” itu, maka
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut 2 (dua) teori sebagai
berikut:
f.
Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons dan
Zevenbergen).
g.
Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)
Sengaja berarti membayangkan akan
akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat,
melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang
diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu
ia akan berbuat (Frank).
Terhadap
perbuatan yang dilakukan si pelaku kedua teori itu tak ada menunjukkan
perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak
untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama.
Perbedaannya adalah hanya dalam peristilahannya saja.
3.
Bentuk atau Corak Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat
dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari
kesengajaan sebagai berikut:
a.
Kesengajaan sebagai maksud (opzet
als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus).
Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat
yang dilarang.
b. Kesengajaan dengan
sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn).
Dalam hal ini perbuatan berakibat yang
dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai
tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
c. Kesengajaan
dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet).
Dalam hal ini keadaan tertentu yang
semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh: meracuni seorang
bapak, yang kena anaknya.
1. Pengertian
Kealpaan atau culpa
Arti kata culpa ialah
“kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti
teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak
disengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak seberat
seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak
disengaja terjadi.
2. Menetapkan Kealpaan pada Seseorang
Bagaimanakah menetapkan
adanya kealpaan pada seseorang sehingga ia dapat dinyatakan bersalah atau
dicela?
Kealpaan orang tersebut
harus ditentukan secara normatif, tidak secara fisik atau psychis.
Tidaklah
mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya,
maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan
mengambil ukuran sikap batin orang pada umumnya apabila ada dalam situasi yang
sama dengan si pembuat itu. Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat
peristiwa demi peristiwa. Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu
adalah hakim. Hakimlah yang harus menilai sesuatu perbuatan in concreto dengan
ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan didalamnya
segala keadaan dan keadaan pribadi si-pembuat. Jadi segala keadaan yang
objektif dan yang mennyangkut si-pembuat sendiri harus diteliti dengan seksama.
Untuk
menentukan kekurangan pengahti-hati dari si-pembuat dapat digunakan ukuran
apakah ia”ada kewajiban untuk berbuat lain”.Kewajiban ini dapat diambil dari
ketentuan Undang-undang atau dari luar Undang-undang, ialah dengan memperatikan
segala keadaan apakah yang seharusnya dilakukan olehnya. Kalau tidak melakukan
apa yang seharusnya ia lakukan, maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat
mengatakan bahwa ia alpa.
Diluar
Undang-undang pun ada aturan-aturan, ialah berupa kebiasaan atau kepatutan
dalam pergaulan hidup masyarakat yang harus diindahkan oleh seseorang.
1. Pengertian Alasan penghapus
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama
ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang
pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak
dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk
menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan
penghapus pidana.
Alasan-alasan penghapus pidana ini
adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang
sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana. Dalam teori
hukum pidana, alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi :
a. Alasan pembenar (Rechtvaardigingsgronden)
Merupakan suatu alasan yang menghapuskan sifat melawan
hukumnnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan
yang patut dan benar.
b. Alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden)
Merupakan suatu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap
merupakan perbuatan pidana,tetapi dia tidak dipidana kerena tidak ada
kesalahan.
c. Perintah yang dikeluarkan oleh
jabatan yang tidak wenang
Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi: “Perintah jabatan yang
diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali
jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu
seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu
menjadi kewajiabn pegawai yang dibawah perintah tadi”
d. Daya paksa atau (overmacht)
Daya paksa yang disebut dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi”:
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Hal ini memberikan dasar tentang tidak dipidananya suatu perbuatan karena
didorong oleh keadaan memaksa. Memorie van Toelichting (MvT)
memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu
kekuatan, suatu paksaan, suatu tekanan yang tidak dapat dielakkan.
e. Alasan penghapus penuntutan
Alasan penghapusan penuntutan ; disini soalnya bukan alasan
pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya
perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah
menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat,
sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan adalah disini
adalah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak ditunut, tentunya yang
melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. Contoh Pasal 53 KUHP, kalu
terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya, percobaan untuk melakukan suatu
kejahatan
1.
Pengertian
Locus Delicti
Locus Delicti adalah tempat terjadinya suatu tindak pidana
atau lokasi tempat kejadian perkara. Dalam istilah hukum Internasional, locus
delicti adalah kewenangan yurisdiksi atau wilayah kewenangan peradilan.
Dalam KUHAP, pasal pasal 84 menjelaskan; locus delicti
sebagai berikut:
Pasal (1) Pengadilan negeri
berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam
daerah hukumnya. Pasal (2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya
terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau
ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut apabila tempat
kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan
negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya
tindak pidana itu dilakukan. (UU no 8 /1981 tentang KUHAP).
Locus Delicti berhubungan dengan
Pasal 2-9 KUHP yaitu menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap
tindak pidana atau tidak. Selain itu, locus delicti juga akan menentukan
pengadilan mana yang memiliki wewenang terhadap kasus tersebut dan ini
berhubungan dengan kompetensi relative.
Ada beberapa teori untuk menentukan
di mana tempat terjadinya perbuatan pidana yaitu teori mengenai tempat di mana
perbuatan dilakukan secara personal, kedua adalah teori tentang alat dan yang
terakhir adalah teori tentang akibat.
a.
Teori Perbuatan Dilakukan secara Personal
Yaitu tempat terjadinya perbuatan dalam teori ini adalah
tempat di mana perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman dilakukan.
Menurut teori ini, jika seorang pelaku menikam korbannya di
Jakarta, setelah terjadi penikaman tersebut si korban pulang ke Bogor dan di
sana ia meninggal, maka meskipun akibatnya (matinya korban) terjadi di Bogor,
yang dianggap sebagai tempat dilakukannya perbuatan adalah Jakarta.
b.
Teori Alat yang Digunakan
Yaitu tempat di mana alat atau instrument yang digunakan
untuk melakukan kejahatan menimbulkan akibat.
Jika seorang pelaku mengirimkan makanan beracun dari Jakarta
ke Bandung untuk seseorang, kemudian orang tersebut (korban) memakan makanan
beracun tersebut dan ia mati maka, yang dianggap sebagai tempat terjadinya
kejahatan adalah Bandung. Hal ini dikarenakan alat yang digunakan untuk
melakukan kejahatan (makanan beracun) menimbulkan akibat.
c.
Teori Akibat
Menurut teori ini, yang dianggap sebagai tempat dilakukannya
tindak pidana adalah tempat di mana suatu kejahatan menimbulkan akibat
perbuatan. Dengan demikian, yang dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan
dalam contoh pada point (a) adalah Bogor dikarenakan di tempat tersebut akibat
dari perbuatan (penikaman) terjadi.
Secara
umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan (tindak pidana) yang
dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan(deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau
lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana.
Beberapa Istilah penyertaan, yaitu:
a.
Turut
campur dalam peristiwa pidana(Tresna)
b. Turut berbuat delik (Karni)
c.
Turut
serta (Utrecht)
d. Delneming (Belanda), Compicity
(Inggris), Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (perancis)
Penyertaan menurut KUHP. Penyertaan
diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut,
penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu:
1. Pembuat/ Dader (Pasal 55) yang
terdiri dari :
a. Pelaku (pleger)
b. Yang menyuruh melakukan (doenpleger)
c. Yang turut serta (medepleger)
d. Penganjur (uitlokker).
2. Pembantu/ Medeplichtige (Pasal 56)
yang terdiri dari :
a. Pembantu pada saat kejahatan
dilakukan
b. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan
Dalam bab V KUHP
yang ditentukan mengenai penyertaan terbatas hanya sejauh yang tercatum dalam
pasal 55 sampai dengan 60 yang pada garis besarnya berbentuk penyertaan dalam
arti sempit (Pasal 55) dan pembantu (56 dan 59), bentuk-bentuknya diperinci
sebagai berikut:
1. Dua orang atu lebih
bersama-sama (berbarengan) melakukan tindak pidana,
2. Ada yang menyuruh
(dan ada yang disuruh) melakukan suatu tindak pidan,
3. Ada yang melakukan
dan ada yang turut serta melakukan tindak pidan,
4. Ada yang
menggerakkan dan ada yang digerakkan dengan syarat tertentu untuk melakukan
tindak pidana.
5. Pengurus-pengurus,
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang dipraanggakan
turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu.
6. Ada petindak
(dader) dan ada pembantu untuk melakukan suatu kejahatan.
Beberapa bentuk
penyertaan dalam pengertian luas tidak masuk dalam ketentuan bab V, misalnya
mereka yang merencanakan kejahatan seperti dalam pasal 104-108 jo.Pasal 110
ayat 2 ke-4, sesorang yang menyembunyikan petindak (Pasal 221), pria dan wanita
yang melakukan persetubuhan diketahui dari hasil kejahatan (Pasal 480).
Bentuk-bentuk penyertaan tersebut adalah merupakan tindak pidana tersendiri.
Mengenai
bentuk-bentuk dari penyertaan apabila ditinjau dari sudut peserta akan
ditemukan variasi sebagi berikut:
a. Penyertaan yang
satu dan lainnya sama-sama memenuhi unsur tindak pidana,
b. Penyertaan yang
(turut) melakukan tindak pidana itu, tidak mengetahui bahwa tindakannya
merupakan tindak pidana, atau ia terpaksa melakukannya dan sebagainya (Manus
ministra)
c. Penyertaan
benar-banarsadar dan langsung turut serta untuk melkukan tindak pidana
(Medeplegen),
d. Penyertaan melkukan
tindak pidana karena adanya suatu keuntungan baginya atau ia dipermudah untuk
melakukannya,
e. Ia dipandang
sebagai penyerta dalam suatu pelanggaran karena ia adalah pengurus dan
sebaginya.
f. Penyertaan hanyalah
sekedar membantu saja,
Menentukan bentuk
hubungan dari peserta-peserta tersebut penting artinya tidak menentukan
pertanggungjawaban pidana dari masing-masingpeserta.
Perbarengan
pidana adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana
tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi atau antara tindak
pidana awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi suatu putusan hakim.
Sedangkan pembarengan tindak pidana atau concursus adalah permasalahan yang
bertalian dengan pemberian pidana. Pembarengan pidana diatur dalam Pasal 63-71
Bab VI KUHP.
Ada tiga bentuk concursus yang
dikenal dalam ilmu hukum pidana, yang biasa juga disebut dengan ajaran, yaitu :
a. Concursus idealis (eendaadsche
samenloop): apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu
perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Dalam KUHP disebut
dengan perbarengan peraturan.
b. Concursus realis (meerdaadsche
samenloop): apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus.
c. Perbuatan lanjutan (voortgezette
handeling): apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali,
dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat
sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan.
Sistem
pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu:
a.
Apabila berupa kejahatan yang diancam
dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan
bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimal terberat
ditambah sepertiga, sistem ini dinamakan sistem absorbsi.
b.
Apabila berupa kejahatan yang diancam
dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk
tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum
pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi
diperlunak.
c.
Apabila concursus realis berupa
pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi.
d.
Apabila concursus realis berupa
kejahatan-kejahatan ringan, yaitu pencurian ringan, penggelapan ringan,
penipuan ringan dan lain-lain , maka sistem yang berlaku adalah kumulasi dengan
pembatasan maksimum pidana penjara delapan bulan.
e.
Concursus realis baik kejahatan maupun
pelanggaran yang diadili pada saat yang berlainan maka berlaku pasal 71 yang
berbunyi “jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan bersalah
karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana
itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidan yang akan dijatuhkan
dengan menggunakan aturan-aturan mengenai perkara-perkara yang diadili pada
saat yang sama”
Pada prinsipnya kewenangan melakukan
penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya tindak pidana. Disini dianggap
bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga pihak yang terkena
tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak
menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar atas
gugurnya kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah :
1. Tidak adanya pengaduan pada
delik-delik aduan (Pasal 72-75 KUHP)
Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya tidak
berhubungan dengan kehendak perorangan kecuali dalam beberapa delik tertentu
diantaranya perzinahan (pasal 284), persetubuhan terhadap anak dibawah umur
(pasal 287-288), untuk melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama baik (319)
dan lain-lain.
2. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau
jangan dua kali yang sama”. Sering juga digunakan istilah “nemodebet
bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu /
dibahayakan untuk kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon
diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in jeopardy for tha
same offerice”.
Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
a. Untuk menjaga martabat pengadilan
(untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara)
b. Untuk rasa kepastian bagi terdakwa
yang telah mendapat keputusan.
3. Matinya terdakwa (Pasal 77 KUHP)
Hal
ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum
hanyalah orang dan pertanggungan jawab bersifat pribadi.
4. Daluarsa (Pasal 78 KUHP)
Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan dalam KUHP pada
dasarnya dilandasi oleh beberapa pemikiran yaitu :
a.
Dalam
kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat
tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk
melakukan pembalasan.
b.
Berjalannya
waktu sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang menyebabkan
kesulitan pembuktian.
c.
Bahwa
pelaku setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan
kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Namun demikian yang utama dari
ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan pembuktian
menjadi alasan utama. Karena itu adagium punier non (simper) necesse
est (menghukum tidak selamanya perlu) menajadi dasar dari keberadaan
lembaga ini.
Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan
dalam pasal 78 (1), yaitu :
a. Untuk semua pelanggaran dan
kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun
b. Untuk kejahatan yang diancam denda,
kurungan atau penjara maksimum 3 tahun : daluwarsanya sesudah 6 tahun
c. Untuk kejahatan yang diancam pidana
penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12 tahun
d. Untuk kejahatan yang diancam pidana
mati atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah 18 tahun.
5. Telah ada pembayaran denda maksimum
kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja
(Pasal 82 KUHP)
Ketentuan
pembayaran denda maksimum untuk pelanggaran hukum (pasal 82) ini dikenal juga
sebagai lembaga hukum “afkoop” (penebusan) atau juga sering disebut “schikking”
(perdamaian)
6. Ada abolisi atau amnesti (diluar
KUHP)
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang
diterbitkan dalam suatu aturan perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua
akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu,
demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka
yang identitasnya diketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan
tersebut
Residive atau pengulangan terjadi
apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana
dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “in kracht
van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi. Perbedaannya dengan
Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan berupa
pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan
beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum
ada putrusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Residive
merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu
hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :
a.
Sistim
Residive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak
pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk
memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak
pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
b.
Sistem
Residive Khusus
Menurut
sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana.
Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis
tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu
pula.
Dalam KUHP ketentuan mengenai
Residive tidak diatur secara umum dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur
secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan dalam
Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III.
Disamping
itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang
tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus,
artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan-pengulangan
jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
DOWNLOAD GAME TERPOPULER