BAB I
PENDAHULUAN

A.
LATAR
BELAKANG
Mu’tazilah merupakan aliran teologis Islam yang mulai ada semenjak
Washil Bin Atha’ berseberangan pendapat dengan gurunya, Hasan al-Bashri,
tentang doktrin pengkafiran seseorang, sehingga Washil Bin Atha’ memisahkan diri
dari barisan gurunya kemudian mendirikan aliran sendiri dengan para pengikutnya
yang kemudian menamankan diri sebagai mu’tazilah.
Golongan mu’tazilah sering kita dengar sebagai golongan Islam
rasionalis dimana ia cenderung mengedepankan akal dalam berijtihad. Golongan
inilah sebagai pencetus lahirnya Islam
liberal dan golongan Islam rasionalis yang sekarang berkembang pesat sebagai
golongan Islam kiri. Mu’tazilah dalam pandangan politiknya, cenderung bersikap
netral terhadap politik yang berkembang pada saat itu. Ia tidak memihak
terhadap perseteruan antara Ali dan Muawiyah. Ia cenderung memisahkan diri dari
barisan antara aliran yang bertentangan dan lebih suka dalam urusan mereka,
yakni mengaji Al-Quran dan hal-hal keagamaan lainnya, daripada harus berurusan
dengan kepentingan politik antara pihak-pihak yang berseberangan pendapat
secara politis.
Dalam makalah ini, akan diulas secara jelas bagaimana sejarah
lahirnya Mu’tazilah, perjalanan, doktrin teologis, hingga politik yang
dijalankan Mu’tazilah, dan berbagai ulasan lain bagaimana peran Mu’tazilah
dalam dunia politik Islam.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
awal lahirnya golongan Mu’tazilah ?
2.
Apa
faham dan Pokok Ajaran Mu’tazilah ?
3.
Bagaimana
corak pemikiran politik Mu’tazilah ?
4.
Apa
saja sekte-sekte dan aliran Mu’tazilah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Pada mulanya aliran ini menamakan dirinya sebagai al-qadariyah atau
al-adaliyah serta mengaku dirinya sebagai ahlu adli wa tauhid (pengikut
keadilan dan tauhid), awal mula kemunculannya adalah ketika Washil bin Atha’
(pelopor Mu’tazilah) berbeda pendapat dengan gurunya (Hasan Al-bashri) dan
memisahkan diri, kemudian mendirikan sebuah aliran baru.
Alasannya adalah mereka tidak sepakat dengan pendapat yang ada
mengenai pengkafiran seseorang, mereka berusaha keluar dari pendapat yang umum
yang berpendapat bahwa mereka itu tetap mukmin atau telah kafir. Justru mereka
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar posisinya bukan sebagai mukmin dan
juga bukan kafir, akan tetapi berada diantara dua tempat (manzilah baina
manzilatain) yaitu fasik.[1]
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara
aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa
besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat
dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum
Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin,
bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha'
yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra,
mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar
menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak
ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam
neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan
abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri
atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa
meletusnya Perang Jamal dan Perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah
sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk
menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad kedua
Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan aqidah. Dan secara
teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukkan pada dua golongan, yaitu:
Golongan pertama disebut
Mu’tazilah I: Muncul sebagai respon politik murni, yakni bermula dari gerakan
atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik
umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Ustman
terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Namun pengangkatan ini mendapat
protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubair dan Thalhah mengadakan
perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus,
gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang
kacau demikian, beberapa sahabat senior seperti Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn
Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam
pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka
sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta
meningkatkan hubungan kepada Allah. Menurut Abdur Razak, golongan inilah yang
mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian
masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik.
Golongan kedua
disebut Mu’tazilah II: Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang
di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah
tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Namun demikian,
antara kedua golongan ini masih terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak
bisa dipisah-pisahkan.[2]
B.
Faham
dan Pokok Ajaran Aliran Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazilah berdiri atas lima Prinsip Utama yang diurutkan menurut kedudukan dan
kepentinganya yaitu :
1.
Keesaan
(at-Tauhid)
2.
Keadilan
(al-Adlu)
3.
Janji
dan Ancaman (al-wad’u wal wa’idu)
4.
Menyuruh
kebaikan dan melarang keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
1.
Tauhid
At-Tauhid
(pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah.
Sebenarnya, setiap madzhab teologis dan Islam memegang doktrin ini. Namun bagi
Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi ari kemahaesaanya. Untuk memurnikan
keesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Konsep ini
berawal dari bapak pencetus aliran ini yakni Washil bin Atha’. Ia mengingkari
bahwa mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah termasuk esensi
Allah. Menurutnya jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal azali, itu berarti
terdapat pluralitas yang kekal dan berarti bahwa kepercayaan kepada Allah
adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada
umumnya, Mu’taziliyah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan
kuasa, dan menanmkan keduanya sebagai sifat-sifat esensial. Selanjutnya, mereka
mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.
Doktrin
Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tuhan dapat melihat dengan mata
kepala juga, keyakinan tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan, begitupun
sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhlukNya. Tegasnya Mu’tazilah menolak
antropomorfisme. Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan semata-mata
atas pertimbangan akal, melainkan memilki rujukan yang sangat kuat di dalam
Al-Qur’an yang berbunyi: “ Tidak ada satupun yang menyamaiNya.” (Q.S.Assyura
:9).
1.
Keadilan
Semua orang
percaya akan keadilan Tuhan. Tetapi aliran Mu’tazilah seperti biasanya,
memperdalam arti keadilan serta menentukan batas-batasnya, sehingga menimbulkan
persoalan. Keadilan berarti meletakkan tanggung jawab atas
perbuatan-perbuatanya. Tuhan tidak memerintah kecuali apa yang dilarang Nya.
Mu’tazilah menolak golongan Jabariyyah yang mengatakan bahwa manusia dalam
segala perbuatanya tidak mempunyai kebebasan, tidak mempunyai kebebasan, bahkan
manusia dalam keterpaksaan.
2.
Janji
dan Ancaman
Aliran
Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan akan menjatuhkan siksaNya atas mereka pada
hari kiamat, pasti dilaksanakanya karena Tuhan sudah mengatakan demikian. Siapa
yang keluat dari dunia tanpa taubat dari dosa besar yang pernah dibuatnya,maka
dia akan diabadikan di neraka meskipun lebih ringan siksaaNya dari orang kafir.
3.
Tempat
diantara dua tempat
Karena prinsip
keempat inilah yang menyebabkan Washil bin Atha’ memisahkan diri dari gurunya
Hasan Basri dan lahirlah aliran ini. Menurut pendapat Washil, seorang muslim
yang mengerjakan dosa besar selain syirik tidak lagi menjadi orang mukmin,
tetapi juga tidak menjadi orang kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi
kefasikan merupakan tempat tersendiri antara orang kafir dan mukmin. Tingkatan
orang fasik berada di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir.
4.
Amar
ma’ruf nahi munkar
Prinsip dasar
ini bersangkut paut dengan dasar amalan lahiriyah yang harus dijalankan oleh
setiap muslim untuk menyiarkan agama dan memberi petunjuk kepada orang yang
sesat. Pendapat Mu’tazilah sama dengan aliran Khawarij dalam melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar, yaitu mereka berpendapat agar amr ma’ruf nahi munkar, yaitu
mereka berpendapat agar amar ma’ruf nahi munkar dijalankan dengan hati bila sudah
dicukupkan demikian dan apabila belum secara bertingkat dilakukan dengan lisan,
dengan kekuasaan atau perlu dengan pedang. Sejarah menunjukkan betapa giatnya
orang Mu’tazilah mempertahankan Islam dari kesesatan yang tersebar luas pada
masa itu.
C.
Corak
Pemikiran Politik Mu’tazilah
Tidak seperti Syi’ah, Khawarij, dan Murjiah, Mu’tazilah pada
mulanya merupakan aliran keagamaan yang tidak mencampuri urusan politik. Namun,
kemudian mereka dengan segera terjun ke dalam masalah politik. Mereka
mendiskusikan kepemimpinan umat Islam (Imam) berdasarkan atas persamaan
diantara umat Islam.
Mu’tazilah sepakat dengan Khawarij dalam penetapan Imam (pemimpin)
bisa berlaku bagi Quraisy seperti halnya bisa berlaku bagi umat muslim yang
lain. Mereka juga sepakat bahwa tidak perlu untuk menunujuk seorang pemimpin
untuk seluruh umat muslim. Hal ini bisa dapat difahami dalam doktrin Khawarij
bahwa kedaulatan semata-mata kepunyaan Allah sendiri, begitulah ditegaskan
dalam Al-Qur’an. Namun demikian mengijinkan prinsip ini, kecuali dalam satu
perkara bahwa seluruh umat Islam harus bersifat adil dan bersih serta tidak
seorang pun yang sudah berbuat dosa akan hidup ditenganh-tengah mereka.
Mu’tazilah sebagai gerakan atau sikap politik lahir pada awal
pemerintahan khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib. Seperti yang telah
disinggung di bagian lain, tidak semua sahabta senior masih tinggal di Madinah
mendukung kekhalifahan Ali. Diantara mereka adalah Talhah bin Ubaidillah,
Zubair bin Awam, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Umar, dan Zaid bin Tsabit.
Thalhah dan Zubair kemudian dengan terang-terangan memberontak terhadap Ali,
sedangkan yang lain tetap bersikap netral. Penduduk Madinah pada umumnya dan
sebagian dari suku Tamimi mengikuti sikap netral tersebut. Meskipun tidak
mendukung Ali, seperti Mu’awiyah. Mereka tidak melibatkan diri dalam
pemberontakan antara pihak-pihak yang bertengkar dan banyak diantara mereka
berpaling kepada pendalaman pengetahuan agama dengan otak dan hati mereka.
Kelompok itu disebut Mu’tazilah karena telah i’tazala (memisahkan diri).
Konsepsi politik Mu’tazilah pada umumnya menegaskan bahwa imamah
atau kepemimpinan negara itu merupakan pilihan rakyat. Menurut mereka, hal itu
karena Allah tidak memberikan penegasan tentang siapa yang harus memimpin umat
sepeninggal nabi Muhammad dan sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Hujrat:
13.
Oleh karena itu, hak menjadi khalifah tidak merupakan hak istimewa
bagi suatu keluarga atau suku tertentu. Petunjuk al-Qur’an tersebut diperkuat
sabda Rosulullah yang memerintahkan kepada kita agar tunduk kepada pemimpin
meskipun dia seorang budak berkulit hitam dari Afrika. Bagi Mu’tazilah hak
memilih kepala negara itu berada di tangan rakyat yang kemudian mengangkatnya
untuk melaksanakan hukum tanpa memandang suku. Suku dari Quraisy atu bukan
sepanjang beragama Islam, mukmin dan adil, serta tidak pula mempertimbangkan
suku. Dan bagi Mu’tazilah pula, pengangkatan imam atu pemimpin negara itu tidak
lagi wajib hanya kalau keadilan sudah betul-betuk merata pada seluruh rakyat
serta sudah tidak ada lagi ancaman terhadap jiwa, harta benda, dan kehormatan
rakyat oleh orang-orang fasiq.
D.
Sekte-sekte
dan Aliran Mu’tazilah
1.
Al-Washiliyah
Pendiri al-Washiliyah adalah Abu Hudzaifah Washil bin Atha’
Al-Gazzal al Altsag, salah seorang murid Hasan Bashri. Dia hidup pada masa
pemerintahan khalifah abd al-Malik ibnu Marwan, Hisyam ibnu Abdul malik.
Ajaran Washilin ini terdiri atas empat pokok :
·
Menolak
adanya sifat-sifat Allah seperti ilmu, Qadrat, Iradat dan Hayat. Menurutnya
mustahil ada dua Tuhan yang Qadim dan Azali. Maka barang siapa yang mengakui
sifat Qadim pada sifat Allah maka ia mengakui adanya dua tuhan.
·
Tentang
takdir, menurutnya Allah adalah hakim yang adil karenanya tidak mungkin
disandarkan kepadaNya keburukan dan kedzaliman, tidak mungkin Allah menghendaki
dari manusia sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diperintahNya. Mustahil
Allah menyiksa manusia terhadap perbuatan yang bukan dari manusia sendiri.
·
Mengenai
Manzilatain ini sama halnya dengan perbedaan pendapat antara Wasil bin Atha’
dan Hasan Basri menegnai dosa besar.
Orang yang terlibat dalam peperangan jamal dan shiffin.
2.
Al-Huzailiyah
Pendirinya
adalah Abu Huzail ibnu Huzail Al-Allaf, abu Huzail ini berbeda pendapat dengan
tokoh-tokoh Mu’tazilah lainya dan perbedaan ini terlihat ada 10 masalah :
a.
Bahwa
Allah maha mnegetahui dengan ilmu-Nya.
b.
Iradah
Allah tidak ada tempatnya, Allah hanya mengehendakinya.
c.
Mengenai
kalam Allah.
d.
Mengenai
takdir allah.
e.
Proses
orang yang kekal di neraka terputus dan
tidak menerima perubahan.
f.
Kemampuan
termasuk sifat yang mendatang pada manusia.
g.
Mukallaf
sebelum diturunkanya wahyu.
h.
Ajal,
Usia, dan Rizki.
i.
Iradat
Allah bukan yang diinginkan Allah.
j.
Pembuktian
terhadap yang hilang tidak akan diterima kecuali dari 20 orang dalam kelompok
itu ada satu atau dua orang termasuk penghuni surga.
3.
An-Nazamiyyah
Pendirinya
adalah Ibrahim ibn Yasr ibn Hani an-Nazamhamdia banyak mempelajari buku-buku
filsafat karena itu pendapatnya sama dengan pendapat Mu’tazilah.
[1] http://filsafat.kompasiana.com/2012/03/16/aliran-aliran-mutazilah-447409.html, diunduh tanggal 17 November 2013