Skip to main content

MAKALAH PENCATATAN PERKAWINAN DAN AKTA NIKAH

BAB I
PENDAHULUAN 
A.  Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga.Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia,maka diperlukan perkawinan. Tidak ada tanpa adanya perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama dan tata aturan yang berlaku. Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami istri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan pernikahan tersebut.Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya cinta lahir batin antara pasangan suami istri tersebut.
Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi golongan-golongan tertentu.Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga bumiputra yang beragama Islam.Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan, tidak ada undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaaan akad nikah perkawinanya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam yang sudah diresiplir dalam hukum adat berdasarkan teori receptie yang dikemukakan oleh Hurgronye.
Setelah Indonesia merdeka, usaha mendapatkan undang-undang tetap diupayakan. Pada akhir tahun 1950 dengan surat Penetapan Mentri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak Rujuk yang diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan.
Dari sinilah pemakalah akan mmembahas hal-hal yang berkaitan dengan pencatatan dan akte perkawinan yang selanjutnya akan dibahas dalam bagian pembahasan.

B.  Rumusan Masalah
1.      Hal-hal yang terkait dengan pencatatan perkawinan
2.      Hal-hal yang terkait dengan akta nikah
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Percatatan Perkawinan
Al-Quran dan al-Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam.Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan.Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinanya.Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.[1]
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Amat wajar bila ada pendapat yang mengungkapkan  bahwa undang-undang perkawinan merupakan ajal teori yang dipelopori oleh Cristian Snouck Hourgronje. Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2 ayat 2 meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala. Upaya ini perlu dilakukan oleh umat Islam secara berkesinambungan di Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan kendala di atas,sebagai akibat adanya pemahaman fikih Imam Syafi’i yang sudah membudaya di kalangan umat Islam Indonesia. Menurut paham mereka, pernikahan dianggap cukup apabila syarat dan rukunya sudah dipenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi akta nikah.Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan perkawinan dibawah tangan (perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita tanpa dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah). Kenyataan dalam masyarakat seperti ini merupakan hambatan undang-undang perkawinan pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut:[2]
Pasal 5
1)        Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2)        Pencatatan pernikahan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 22 tahun  1946 jo.undang-undang Nomor 32 tahun 1954.
Pasal 6
1)        Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah.
2)        Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. [3]
Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan rujuk). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah :
a.      Kantor urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi orang yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun 1954).
b.      Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada :
(1)       Stb. 1933 Nomor 75 jo. Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang peraturan catatan sipil untuk orang Indonesia Kristen, Madura, Minahasa, Ambonia.
(2)       Stb. 1857 Nomor 23 tentang peraturan perkawinan dilakukan menurut ketentuan Stb. 1849. Nomor 25 yaitu tentang pencatatan sipil Eropa.
(3)       Stb. 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan Stb. 1917 Nomor 130 jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang peraturan pencatatan sipil campuran.
(4)       Pencatatan sipil untuk perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam Stb. 1904 Nomor 279.
(5)       Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, NTB dan NTT, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan dikantor catatan sipil berdasarkan ketentuan pasal 3-9 peraturan ini.
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan diwilayah masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan inidapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkret tentang data NTR.[4]

B.     Akta Nikah
Setelah adanya kesepakatan antara pihak pria dan wanita untuk melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu, diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatatan Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud, perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata caranya diatur dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai berikut:
1)      Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud pasal 8 PP ini.
2)      Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
3)      Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaanya itu, perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Kalau perkawinan akan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinanya dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukanya, seperti diatur dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta Nikah memuat sepuluh langkah yang harus terpenuhi, yaitu sebagai berikut.
1)     Nama, tanggal, tempat lahir, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.
2)     Nama, agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.
3)     Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Perkawinan.
4)     Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
5)     Izin pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan.
6)     Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
7)     Izin pejabat yang ditunjuk oleh Menhamkam/Pangab bagi Angkatan Bersenjata.
8)     Perjanjian perkawinan apabila ada.
9)     Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak atau penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya.Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinanaya yang telah disiapakan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.Setelah itu, diikuti oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang mengahadiri akad nikah.Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinanaya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normative berdasarkan pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.[5]
Akta Nikah menjadi bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi jaminan hukum bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Sebagai contoh, seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibanya, sementara kenyataanya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan.Selain itu, Akta Nikah juga juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh pegawai Pegawai Pencatat Nikah.
Apabila suatu kehidupan suami istri belangsung tanpa Akta Nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinanya. Pasal 7 ayat (2) dan (3) mengungkapkan sebagai berikut.
2)        Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3)        Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a.         Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.        Hilangnya Akta Nikah;
c.         Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.        Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
e.         Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Permohonan isbat nikah di atas, menurut pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting. Berdasarkan Firman Allah dalam surah Al-Baqoroh ayat 282, para pemikir hukum islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkambangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah fikih yang mengungkapkan Darul mafasidu muqaddamun ala jalabil mashalih.Dengan demikian, pelaksaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan umum (mashlahatul mursalah) di Negara Republik Indonesia.[6]
Melalui kajian ini dapat dipahami bahwa pencatatan pernikahan dan Akta Nikahnya merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh pendududuk yang mendiami wilayah Negara Indonesia.Pemikiran itu didasari oleh metodologis asas yang kuat, yaitu qiyas dari ayat Alquran yang berkaitan dengan muamalah (Surah Albaqoroh (2) ayat 282) dan mashlahat mursalah dan perwujudan kemashlahatan.
Sejalan dengan perkembangna zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terus terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, sebagai bukti autentik pernikahan. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak  saja karena kematian, manusia bisa mengalami lupa dan khilaf. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti tertulis untuk dijadikan bukti perbnikahan.
Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Hal ini disebut dengan pembaharuan karena tidak terdapat dalam kitab-kitab fiqih klassik ataupun fatwa ulama.
Adapun perturan pencatatan dapat kita lihat dalam pasal 2 ayat 2 UU No 1/1974 yang berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat meenurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”[7]
Adapun tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 3 yang berbunyi:
1)        Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberikan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan
2)        Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan
3)        Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Dae[8]
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Terbentuknya peraturan dalam kompilasi hukum Islam pasal 5 dan 6 mengenai pencatatan perkawinan untuk mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut:
Pasal 5
1)        Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2)        Pencatatan pernikahan tersebut, pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang nomor 22 tahun  1946 jo.undang-undang Nomor 32 tahun 1954.
Pasal 6
1)        Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah.
2)        Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. [9]
Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan rujuk). Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah :
a.       Kantor urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi orang yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun 1954).
b.      Kantor Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada :
(1)     catatan sipil untuk orang Indonesia Kristen, Madura, Minahasa, Ambonia.
(2)     Pencatatan sipil Eropa.
(3)     Pencatatan sipil campuran.
Adapun perturan pencatatan dapat kita lihat dalam pasal 2 ayat 2 UU No 1/1974 yang berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat meenurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”[10]
Adapun tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 3.

B.     PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami jelaskan, dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelasahan pdikarenakan kurang tajamnya pemakalah dalam menela’ah buku-buku reference. Dengan makalah ini pemakalah berharap dapat memunculkan semangat pembaca pada umumnya dan pembuat pada khususnya untuk lebih dalam lagi mengkaji hal-hal yang terkait dengan pencatatan perkawinan. Semoga bermanfaat....



[1]Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2007, hlm. 26.
[2] Ibid,
[3]Ibid. hlm. 27.
[4] Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm.14-15.
[5] Ibid. hlm.28
[6] Ibid, hlm 29
[7] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal, Hukum Perdata Islamdi Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004, hlm 122
[8] Ibid,
[9]Ibid. hlm. 27.
[10] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal, Hukum Perdata Islamdi Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004, hlm 122

Popular posts from this blog

Hadist Qouliyah, Fi’liyah dan Taqririyah

Hadits Qauliyah, Fi’liyah dan Taqririyah 1.       Hadits Qauli Yang dimaksud dengan hadist Qauli, ialah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengan kata lain hadist tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah maupun akhlaq. Diantara contoh Hadist Qauli adalah hadist tentang do’s Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang yang mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu. Hadist tersebut berbunyi: نَضَّرَ اللّهُ امْراءً سَمِعَ مِنَّاحَدِيْثًا فَحَفِظَةُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَاِنّهُ رُبَّ حَامِلٍ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍوَرُبَّ حَامِلٍ فِقْهٍ اِ لَى مَنْ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ ثَلاَ   ثٌ خِصَالٍ لاَيَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ اَبَدًا اِخْلاَ صُ الْعَمَلِ لِلّهِ وَمُنَا صَحَةُ وُلاَةِ الاْمرِ وَلُزُوْمُ الْجَمَاعةِ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرائِهِمْ (رواه احمد). Artinya: Semoga Allah

10 Foto Syur Artis Indonesia Yang Bikin Heboh

pay per click advertising pay per click advertising [Putar Video SEKS: KLIK]   - Diabadikan, kata tersebut tampaknya sangat pantas untuk menilai sebuah jepretan  foto . Sangat wajar pula jika sebuah   pose  hanya dijadikan sebagai konsumsi pribadi. Lalu bagaimana jika   foto pribadi  itu tersebar ke publik? Dengan teknologi internet tampaknya hal-hal yang bersifat  pribadi  semakin tergadaikan. Bahkan, hal tersebut menimpa   artis-artis Indonesia . Ini dia   10 foto ‘nakal’ artis yang bikin heboh . 1. Mayangsari Pada 2009 lalu memang sedang hangat-hangatnya   hubungan ‘terlarang’ antara Mayangsari dan Bambang Trihatmodjo . Sempat tak mengakui terlibat   percintaan , namun   foto-foto nakal   mereka tersebar di internet. Ada beberapa   foto Mayang  mengenakan kimono terbuka yang memperlihatkan tubuhnya yang berbalut celana dalam dan bra.   Foto   tersebut cukup jelas memperlihatkan lekuk tubuh perempuan kelahiran Purwokerto tersebut. Foto kedua memperlihatkan kea

MAKALAH SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI JAWA

MAKALAH SEJARAH  MASUKNYA  ISLAM  DI JAWA I.      PENDAHULUAN Berbagai artikel, berbagai pendapat tentang sejarah masuknya Islam di Jawa yang sangat sulit untuk di percayai yang manakah diantaranya yang paling mendekati kebenarannya. Islam begitu sangat penting untuk diketahui asal muasal pembawanya ke Jawa, juga masih diragukan karena banyaknya pendapat tersebut sehingga para penganut Islam pun kontroversional dalam mengimani hal-hal yang berkaitan dengan proses-proses adanya Islam di Jawa. Banyak tokoh-tokoh pula yang berjasa atas berdirinya Islam di Jawa yang membawa pengaruh besar atas perkembanganya yang patut kita hargai pengorbananya kepada kita semua yang sehingga kini pun telah senantiasa hidup dalam kebenaran oleh karena ilmu-ilmu dan dakwah mereka yang meluruskan jalan kita sampai detik ini pun masih terkenang para penyebar terdahulu. Dengan bermacam-macam cara telah mereka tempuh demi terrcapainya tujuan mereka menyampaikan kebenaran agama Islam. Dala