BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang
penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah
tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami
istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus
generasi.Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga.Untuk
membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia,maka diperlukan perkawinan. Tidak
ada tanpa adanya perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama dan tata aturan
yang berlaku. Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami
istri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang
melaksanakan pernikahan tersebut.Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan
diperlukan adanya cinta lahir batin antara pasangan suami istri tersebut.
Sebelum Indonesia merdeka, sudah
ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi golongan-golongan tertentu.Yang
menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga bumiputra yang beragama Islam.Bagi
mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan, tidak ada
undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaaan akad
nikah perkawinanya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam yang sudah
diresiplir dalam hukum adat berdasarkan teori receptie yang dikemukakan oleh
Hurgronye.
Setelah Indonesia merdeka, usaha mendapatkan undang-undang tetap
diupayakan. Pada akhir tahun 1950 dengan surat Penetapan Mentri Agama RI Nomor
B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum
Perkawinan, Talak Rujuk yang
diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan.
Dari
sinilah pemakalah akan mmembahas hal-hal yang berkaitan dengan pencatatan dan
akte perkawinan yang selanjutnya akan dibahas dalam bagian pembahasan.
B. Rumusan
Masalah
1. Hal-hal yang terkait dengan pencatatan perkawinan
2. Hal-hal yang terkait dengan akta
nikah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Percatatan
Perkawinan
Al-Quran dan al-Hadis tidak mengatur secara rinci
mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai
pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam
masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum
Islam.Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum
yang timbul dari ikatan perkawinan.Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta
Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami salinanya.Akta tersebut,
dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari
adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.[1]
Undang-undang nomor 1 tahun 1974
merupakan era baru bagi kepentingan umat Islam khususnya dan masyarakat
Indonesia pada umumnya.Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan
unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menempatkan hukum Islam
mempunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresepsi oleh hukum adat. Amat wajar
bila ada pendapat yang mengungkapkan
bahwa undang-undang perkawinan merupakan ajal teori yang dipelopori oleh
Cristian Snouck Hourgronje. Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam pasal 2
ayat 2 meskipun telah disosialisasikan selama 26 tahun lebih, sampai saat ini
masih dirasakan adanya kendala-kendala. Upaya ini perlu dilakukan oleh umat
Islam secara berkesinambungan di Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan kendala di atas,sebagai
akibat adanya pemahaman fikih Imam Syafi’i yang sudah membudaya di kalangan
umat Islam Indonesia. Menurut paham mereka, pernikahan dianggap cukup apabila
syarat dan rukunya sudah dipenuhi, tanpa diikuti oleh pencatatan, apalagi akta
nikah.Kondisi seperti ini terjadi dalam masyarakat sehingga masih ditemukan
perkawinan dibawah tangan (perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai
laki-laki kepada calon mempelai wanita tanpa dicatat oleh pegawai pencatat
nikah dan tidak mempunyai Akta Nikah). Kenyataan dalam masyarakat seperti ini merupakan
hambatan undang-undang perkawinan pasal 5 dan 6 Kompilasi Hukum Islam mengenai
pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut:[2]
Pasal 5
1)
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2)
Pencatatan pernikahan tersebut, pada
ayat (1) dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang nomor 22 tahun 1946 jo.undang-undang Nomor 32 tahun 1954.
Pasal 6
1)
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,
setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan
Pegawai Pencatatan Nikah.
2)
Perkawinan yang dilakukan diluar
pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. [3]
Perkawinan dianggap sah adalah
perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku. Di negara Indonesia ada dua instansi atau
lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian (dan rujuk).
Adapun instansi atau lembaga yang dimaksud adalah :
a.
Kantor
urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi orang
yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun 1954).
b.
Kantor
Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada
:
(1)
Stb.
1933 Nomor 75 jo. Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang peraturan catatan sipil
untuk orang Indonesia Kristen, Madura, Minahasa, Ambonia.
(2)
Stb.
1857 Nomor 23 tentang peraturan perkawinan dilakukan menurut ketentuan Stb.
1849. Nomor 25 yaitu tentang pencatatan sipil Eropa.
(3)
Stb.
1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan Stb. 1917
Nomor 130 jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang peraturan pencatatan sipil campuran.
(4)
Pencatatan
sipil untuk perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam Stb. 1904 Nomor 279.
(5)
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang kristen di Sumatera,
Kalimantan, Bali, NTB dan NTT, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang
belum diatur tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas,
pencatatan perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan dikantor catatan sipil
berdasarkan ketentuan pasal 3-9 peraturan ini.
Kantor
Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan yang dilaksanakan
diwilayah masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan inidapat dikenakan
sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah satu kegunaan
pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan konkret tentang data
NTR.[4]
B.
Akta
Nikah
Setelah
adanya kesepakatan antara pihak pria dan wanita untuk melangsungkan perkawinan,
yang kemudian kesepakatan itu, diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatatan Nikah
dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana dimaksud,
perkawinan dapat dilangsungkan. Ketentuan dan tata
caranya diatur dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai
berikut:
1) Perkawinan
dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh
Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud pasal 8 PP ini.
2) Tata
cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan
itu.
3) Dengan
mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan
kepercayaanya itu, perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi.
Kalau perkawinan akan dilangsungkan
oleh kedua belah pihak, Pegawai Pencatat menyiapkan Akta Nikah dan salinanya
dan telah diisi mengenai hal-hal yang diperlukanya, seperti diatur dalam pasal
12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Akta Nikah memuat sepuluh langkah
yang harus terpenuhi, yaitu sebagai berikut.
1) Nama,
tanggal, tempat lahir, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.
2) Nama,
agama/kepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.
3) Izin
kawin sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-Undang Perkawinan.
4) Dispensasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
5) Izin
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan.
6) Persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
7) Izin
pejabat yang ditunjuk oleh Menhamkam/Pangab bagi Angkatan Bersenjata.
8) Perjanjian
perkawinan apabila ada.
9) Nama,
umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi, dan wali
nikah bagi yang beragama Islam.
10) Nama,
umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal kuasa apabila perkawinan
dilakukan melalui seorang kuasa.
Selain hal itu, dalam Akta Nikah
dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak atau
penggantungan talak, yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah
sebagai janji setia terhadap istrinya.Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai
menandatangani Akta Nikah dan salinanaya yang telah disiapakan oleh Pegawai
Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.Setelah itu, diikuti oleh kedua
saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang mengahadiri akad nikah.Kemudian wali
nikah atau yang mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan
penandatanganan Akta Nikah dan salinanaya maka perkawinan telah tercatat secara
yuridis normative berdasarkan pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai
kekuatan hukum berdasarkan pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.[5]
Akta Nikah menjadi bukti autentik
dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi jaminan hukum bila
terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang
menyimpang. Sebagai contoh, seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi
kewajibanya, sementara kenyataanya ia mampu atau suami melanggar ketentuan taklik
talak yang telah dibacanya, maka pihak istri yang dirugikan dapat mengadu dan
mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan.Selain itu, Akta Nikah juga juga
berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa
akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Dengan
demikian, pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh pegawai Pegawai
Pencatat Nikah.
Apabila suatu kehidupan suami istri
belangsung tanpa Akta Nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam
membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah
(penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai
kekuatan hukum dalam ikatan perkawinanya. Pasal 7 ayat (2) dan (3)
mengungkapkan sebagai berikut.
2)
Dalam hal perkawinan tidak dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan
Agama.
3)
Isbat nikah yang dapat diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a.
Adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian;
b.
Hilangnya Akta Nikah;
c.
Adanya keraguan tentang sah atau
tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
e.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974.
Permohonan isbat nikah di atas,
menurut pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa yang berhak
mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pencatatan perkawinan dan aktanya,
merupakan sesuatu yang penting. Berdasarkan Firman Allah dalam surah Al-Baqoroh
ayat 282, para pemikir hukum islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan
dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap
bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkambangan ilmu hukum
saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan
dengan kaidah fikih yang mengungkapkan Darul
mafasidu muqaddamun ala jalabil mashalih.Dengan demikian, pelaksaan
peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan
dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan
kemaslahatan umum (mashlahatul mursalah) di Negara Republik Indonesia.[6]
Melalui kajian ini dapat dipahami
bahwa pencatatan pernikahan dan Akta Nikahnya merupakan ketentuan yang perlu
diterima dan dilaksanakan oleh pendududuk yang mendiami wilayah Negara
Indonesia.Pemikiran itu didasari oleh metodologis asas yang kuat, yaitu qiyas
dari ayat Alquran yang berkaitan dengan muamalah (Surah Albaqoroh (2) ayat 282)
dan mashlahat mursalah dan perwujudan kemashlahatan.
Sejalan
dengan perkembangna zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali
perubahan-perubahan yang terus terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral)
kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta,
sebagai bukti autentik pernikahan. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan
tidak saja karena kematian, manusia bisa
mengalami lupa dan khilaf. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti tertulis
untuk dijadikan bukti perbnikahan.
Dengan
demikian salah satu bentuk pembaharuan adalah dimuatnya pencatatan perkawinan
sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Hal ini disebut
dengan pembaharuan karena tidak terdapat dalam kitab-kitab fiqih klassik
ataupun fatwa ulama.
Adapun
perturan pencatatan dapat kita lihat dalam pasal 2 ayat 2 UU No 1/1974 yang
berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat meenurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”[7]
Adapun
tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
pasal 3 yang berbunyi:
1)
Setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan memberikan kehendaknya kepada Pegawai
Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan
2)
Pemberitahuan
tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan
3)
Pengecualian
terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang
penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Dae[8]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Terbentuknya
peraturan dalam kompilasi hukum Islam pasal 5 dan 6 mengenai
pencatatan perkawinan untuk mengungkapkan
beberapa garis hukum sebagai berikut:
Pasal 5
1)
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2)
Pencatatan pernikahan tersebut, pada
ayat (1) dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang nomor 22 tahun 1946 jo.undang-undang Nomor 32 tahun 1954.
Pasal 6
1)
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,
setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan
Pegawai Pencatatan Nikah.
2)
Perkawinan yang dilakukan diluar
pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. [9]
Di
negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat
perkawinan dan perceraian (dan rujuk). Adapun instansi atau lembaga yang
dimaksud adalah :
a.
Kantor
urusan agama Kecamatan untuk Nikah, Talak dan Rujuk, bagi orang
yang beragama Islam (lihat UU no. 22 tahun 1946 jo. UU No Tahun 1954).
b.
Kantor
Catatan Sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk kepada
:
(1)
catatan
sipil untuk orang Indonesia Kristen, Madura, Minahasa, Ambonia.
(2)
Pencatatan
sipil Eropa.
(3)
Pencatatan
sipil campuran.
Adapun
perturan pencatatan dapat kita lihat dalam pasal 2 ayat 2 UU No 1/1974 yang
berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat meenurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”[10]
Adapun
tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
pasal 3.
B.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami jelaskan, dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kelasahan pdikarenakan kurang tajamnya pemakalah dalam menela’ah
buku-buku reference. Dengan makalah ini pemakalah berharap dapat memunculkan
semangat pembaca pada umumnya dan pembuat pada khususnya untuk lebih dalam lagi
mengkaji hal-hal yang terkait dengan pencatatan perkawinan. Semoga
bermanfaat....
[1]Prof. Dr. H.
Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Sinar
Grafika, 2007, hlm. 26.
[2] Ibid,
[4] Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., Aneka Masalah Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm.14-15.
[5] Ibid.
hlm.28
[6] Ibid,
hlm 29
[7] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal, Hukum
Perdata Islamdi Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004, hlm 122
[8] Ibid,
[10] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal, Hukum
Perdata Islamdi Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004, hlm 122