Skip to main content

Makalah Perjanjian Perkawinan dan Taklik Talak




I.          PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Muatan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum al-Qur’an, meskipun seratus syarat, hukumnya batal. Demikian juga perjanjian yang tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Dalam perkawinan dikenal adanya perjanjian perkawinan yang seringkali dibacakan oleh calon suami setelah akad nikah, yakni adanya perjanjian taklik talak. Perjanjian lainnya yang sering dilakukan adalah perjanjian tentang harta bersama.
Di Indonesia, terdapattiga peraturan yang mengatur masalah perjanjian perkawinan, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 1 tahun 1974 mengenai perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam pendahuluan Pasal 38 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada Bab VIII tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas putusan pengadilan.
Putusnya perkawinan karena perceraian di Indonesia pada umumnya menggunakan lembaga taklik talak (cerai talak). Namun tidak sedikit masyarakat yang putus hubungan perkawinannya karena putusan pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran taklik talak. Kenyataan yang ada sampai saaat ini menunjukkan bahwa hampir setiap perkawinan di Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan sighat taklik talak oleh suami setelah pengucapan ijab qabul. Sekalipun sifatnya suka rela yang mana telah berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, namun di negara ini, membaca taklik talak seolah-olah menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami.
Dengan semakin bertambahnya angka perceraian di Indonesia, keinginan orang untuk membuat perjanjian perkawinan juga berkembang sejalan dengan makin banyaknya orang menyadari bahwa pernikahan juga adalah sebuah komitmen financial seperti pentingnya hubungan cinta itu sendiri.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, dapat ditarik point pertanyaan yakni, bagaimana penjelasan lebih lanjut mengenai perjanjian perkawinan dan taklik talak?

II.            PEMBAHASAN
A.      Pengertian Perjanjian perkawinan
Dalam pergaulan hidup sosial (social community), setiap hari manusia selalu melakukan perbuatan-perbuatan untuk memenuhi kepentingannya. Segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan untuk menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban (misalnya membuat surat wasiat, membuat persetujuan-persetujuan) dinamakan perbuatan hukum.[1]
Dalam perspektif Hukum, perbuatan hukum itu sendiri digolongkan menjadi dua, yaitu :
1.    Perbuatan hukum sepihak, yaitu perbuatan yang dilakukan satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula. Misalnya pembuatan surat wasiat, pemberian hadiah (hibah).
2.    Perbuatan hukum dua pihak, ialah suatu perbuatan hukum yang dilakukan dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi keduanya. Misalnya membuat persetujuan untuk melakukan perkawinan, persetujuan jual-beli, dan lain-lain.[2]
Dari dua golongan perbuatan tersebut perjanjian perkawinan dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum dua pihak karena perjanjian perkawinan yang seperti itu telah diatur dalam KUH Perdata maupun Undang-Undang Perkawinan, biasa terjadi karena adanya persetujuan kedua belah pihak.
Perjanjian perkawinan menurut asalnya merupakan terjemahan dari “huwelijksevoorwaarden” yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW).[3] Istilah ini terdapat dalam KUH Perdata,[4] Undang-undang nomor 1 tahun 1974[5] dan Kompilasi Hukum Islam.[6] Huwlijk sendiri menurut bahasa berarti : perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan[7], sedangkan voorwaard berarti syarat.
Belum ada definisi secara baku mengartikan perjanjian perkawinan baik menurut bahasa maupun istilah. Namun dari masing-masing kata dalam kamus bahasa dapat diartikan :
1.    Perjanjian : persetujuan, syarat, tenggang waktu, kesepakatan baik lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk ditepati.
2.    Perkawinan : pernikahan; hal-hal yang berhubungan dengan kawin.
Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan isinya.[8]
B.       Perjanjian Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Perjanjian dalam pelaksanaan perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut:
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari bunyi pasal ini sebenarnya tidak begitu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, perjanjian dalam pasal 29 ini lebih sempit oleh karena hanya “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overenkomsten), dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi “verbintenissen uit de wet allen“ (perikatan yang bersumber pada undang-undang).[9] Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya taklik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah.
Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan perjanjian perkawinan namun dapat diberikan batasan, sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.
Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.[10]
Terhadap Pasal tersebut di atas, K.Wantjik Saleh mengatakan : “Bahwa ruang lingkup perjanjian perkawinan tidak ditentukan perjanjian tersebut mengenai apa, umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada pembatasan itu, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut luas sekali, dapat mengenai berbagai hal. Dalam penjelasan Pasal tersebut hanya dapa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian itu tidak termasuk taklik talak”.

C.      Perjanjian Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam
Pada kompilasi hukum Islam (KHI) mengenai perjanjian perkawinan diatur pada bab VII Pasal 45 sampai 52 tentang perjanjian perkawinan. Pasal 45 KHI menyatakan bahwa “kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1.    Taklik Talak.
2.    Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dari Pasal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang nomor 1 tahun 1974, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 29 UUP dinyatakan bahwa “yang dimaksud dengan perjanjian” dalam Pasal ini tidak termasuk “taklik talak”, akan tetapi dalam KHI jelas ditegaskan bahwa perjanjian perkawinan bisa dalam bentuk “taklik talak” dan bisa dalam bentuk perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan yang berkaitan dengan masalah harta bersama yang didapat selam perkawinan dierangkan dalam Pasal 47 KHI.[11]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa “perjanjian perkawinan” menurut KHI bukan hanya terbatas pada harta yang didapat selama perkawinan, akan tetapi mencakup harta bawaan masing-masing suami istri. Sedangkan yang dimaksud perjanjian perkawinan terhadap harta bersama yaitu perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, perjanjian tersebut dibuat oleh calon suami istri untuk mempersatukan harta kekayaan pribadi masing-masing selama perkawinan berlangsung, tergantung dari apa yang disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian. Isi perjanjian tersebut berlaku pula bagi pihak ketiga sejauh pihak ketiga tersangkut.[12]
Perjanjian perkawinan yang dibuat antara calon suami istri tentang pemisahan harta bersama atau harta syarikat tdak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Pasal 48 KHI :
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Apabila setelah dibuat, perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, menurut pasal 48 ayat (2) KHI dianggap tetap menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.

D.      Bentuk dan Isi Perjanjian Perkawinan
Adapun mengenai bentuk-bentuk perjanjian perkawinan, yaitu : Pertama, menurut Undang-Undang Perkawinan mengatur sesuai pola yang dianut hukum adat maupun hukum Islam, yaitu : harta bawaan dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan tetap dikuasai masing-masing suami istri, sedang yang menjadi harta bersama hanyalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan :
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, atau warisan, adalah di bawa penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Melalui perjanjian perkawinan suami istri dapat menyimpangi dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang perkawinan di atas dan bila dikehendaki dapat membuat perjanjian percampuran harta pribadi, inipun dapat dipertegas lagi dalam bentuk :
1.    Seluruh harta pribadi baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan berlangsung.
2.    Hanya terbatas pada harta pribadi saat perkawinan dilangsungkan (harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan tetap menjadi milik masing-masing pihak). Atau sebaliknya percampuran harta benda pribadi saat perkawinan berlangsung (harta bawaan/harta pribadi sebelum perkawinan dilangsungkan menjadi milik masing-masing).
Kedua, menurut Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perjanjian dalam Pasal tersebut tidak termasuk taklik-talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama nomor 3 tahun 1975 Pasal 11 menyebutkan satu aturan yang bertolak belakang:
1.    Calon suami-isteri dapat mengadakan perjanjian pekawinan sepanjang tidak     betentangan dengan hukum Islam.
2.    Perjanjian yang berupa taklik-talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan   dan ditanda tangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
3.    Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.[13]
Selain bentuk perjanjian perkawinan taklik-talak Kompilasi Hukum Islam juga mengatur bentuk perjanjian perkawinan yang menyangkut percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharaian.
Adapun mengenai isi perjanjian perkawinan merupakan hal yang sangat penting untuk kebaikan bersama antara kedua belah pihak. Baik berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 maupun berdasarkan kompilasi hukum Islam, perjanjian perkawinan dapat menyangkut segala hal yang tidak bertentangan dengan ketentuan perjanjian secara umum, hanya perjanjian itu disahkan di depan pegawai pencatat nikah.
Isi perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974, menurut Abdul Kadir Muhammad dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Adapun isi perjanjian perkawinan itu meliputi:
1.    Penyatuan harta kekayaan suami istri.
2.    Penguasaan, pengawasan dan perawatan harta kekayaan istri oleh suami.
3.    Istria tau suami melanjutkan kuliah bersama.
4.    Dalam perkawinan suami istri sepakat untuk  melaksanakan keluarga berencana.
Isi dari Perjanjian Kawin yang dilarang adalah:
1.    Mengurangi hak suami baik sebagai suami maupun sebagai kepala (persatuan) rumah tangga, menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan sebagai orang tua, mengurangi hak-hak yang diperlukan UU kepada yang hidup terlama antara suami istri (Pasal 140 KUH Perdata[14]).
2.    Melepaskan haknya sebagai ahli waris menurut hukum dalam warisan anak-anaknya atau keturunannya (Pasal 141 KUH Perdata[15]).

E.       Syarat-syarat Perjanjian Perkawinan
Sebuah perjanjian perkawinan baru dapat dianggap sah apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang. Syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 29 undang-undang perkawinan, yaitu :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama  perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum Al-Qur’an, meskipun seratus syarat dibuat, hukumnya batal. Demikian juga, perjanjian tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.


Artinya :
“Orang-orang Islam itu (terikat)kepada syarat-syarat (yang dibuat) mereka, kecuali syarat untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.”[16] (Riwayat al-Bukhari).



Artinya :
Setiap syarat yang tidak (sejalan dengan hukum yang) ada dalam kitab Allah adalah batal meskipun 100 syarat.”[17]
Pada umumnya suatu perjanjian perkawinan dibuat dengan alasan:
(1) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak yang lain;
(2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar;
(3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri sehingga andaikata salah satu jatuh, yang lain tidak tesangkut;
(4) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.[18]
Perjanjian perkawinan isinya terus berlaku selama perjanjian tersebut belum berakhir. Berakhirnya perjanjian perkawinan dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut:
1.      Putusnya Perkawinan
Perjanjian perkawinan bersifat accessoir dengan lembaga perkawinan itu sendiri yakni adanya perjanjian karena adanya perkawinan. Ketika perkawinan putus/berakhir, maka dengan sendirinya perjanjian itu berakhir .
2.      Pencabutan Bersama
Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, jika suami-isteri tidak menghendaki isi perjanjian perkawinan, mereka dapat secara bersama-sama mencabut dan mendaftarkan pencabutan tersebut di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.[19]
Yang perlu ditekankan di sini adalah pencabutan perjanjian Perkawinan tidak berlaku surut, artinya tidak boleh merugikan perjanjian yang telah dibuat dengan pihak ketiga sebelum dilakukan pencabutan oleh suami istri.
3.      Putusan Pengadilan
Perjanjian perkawinan yang dapat dibatalkan dengan putusan Pengadilan adalah perjanjian yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh undang-undang, baik itu yang bersifat subyektif maupun yang bersifat obyektif.

F.       Manfaat Perjanjian Perkawinan
1.    Dapat menimbulkan sikap saling terbuka antar pasangan dalam hal keuangan. Masing-masing pihak dapat mengekspresikan kemauannya dalam perjanjian ini.
2.    Menghindari sifat boros salah satu pasangan. Dalam hal salah satu pasangan mempunyai indikasi boros, maka dengan adanya perjanjian ini dapat menyelamatkan rumah tangga perkawinan mereka nantinya. Dengan adanya perjanjian ni, maka pihak yang boros harus menaati semua aturan-aturan yang sudah disepakati dalam perjanjian pra-nikah.
3.    Menghindari dari maksud buruk salah satu pasangan. Seringkali pernikahan menjadi suatu sarana untuk memperoleh euntungan atau kekayaan dari pihak lain. Menikah kemudian mengajukan gugatan cerai untuk mendapatkan harta gono gini. Dengan adanya perjanjian pra nikah ini maka akan melindungi harta benda dari rebutan pihak lain.
4.    Melindungi salah satu pihak dari tindakan hukum. Apabila salah satu pihak mengajukan kredit (misalnya kredit rumah) biasanya akan dilakukan penandatanganan perjanjian kredit oleh suami-istri sehingga utang kredit tersebut ditanggung bersama. Namun, dengan adanya perjanjian ini, maka yang mengajukan kredit bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan bukan menjadi utang bersama.
5.    Bagi perempuan WNI yang menikah dengan lelaki WNA, sebaiknya mereka memiliki perjanjian pra nikah, untuk memproteksi diri mereka sendiri, karena kalau tidak, maka perempuan WNI tersebut tidak akan bisa membeli tanah dan rumah atas namanya sendiri. Selain dari pada itu, perjanjian ini dapat pula memuat mengenai kewarganegaraan anak yang nantinya dilahirkan dari perkawinan campuran, bahwa anak yang nantinya dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan ibu dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya pekerjaan ibu dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya pekerjaan ibu yang berlokasi di Indonesia.

G.      Taklik Talak Dalam Perjanjian Perkawinan
Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji dimasa yang akan datang. Perjanjian pada Penjelasan pasal 29 menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal tersebut tidak termasuk taklik talak. Namun Pasal 11 dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 menyebutkan suatu peraturan yang bertentangan. Hal itu diungkapkan sebagai berikut:
(1) Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islamberupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
(2) Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
(3) Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Isi Pasal 11 tersebut, dirinci oleh Pasal 45 KHI, yaitu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: (a) taklik talak; (b) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Perjanjian perkawinan yang dijelaskan oleh Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam seperti dijelaskan di bawah ini: Pasal 46 KHI :
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
  Ayat (3) KHI di atas bertentangan dengan Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor Tahun 1974 yang mengungkapkan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah, maka dalam penjelasannya disebutkan tidak termasuk taklik talak. Sebab, naskah perjanjian taklik talak, dilampirkan dalam salinan Akta Nikah yang sudah ditandatangani oleh suami.oleh karena itu, perjanjian taklik talak tidak dapat dicabut kembali. Dapat dipahami bahwa sebelum pelaksanaan akad nikah Pegawai Pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama. Selama perjanjian itu berupa taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya. Sebagai contoh dapat diungkapkan teks taklik talak sebagai berikut :

Sesudah akad nikah, saya … bin … berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama … binti… dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syariat islam.

Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya itu seprti berikut. Sewaktu-waktu saya:

(1) Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut,
(2) Atau saya tidak member nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
(3) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu.
(4) Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan ) istri saya itu enam bulan lamanya.

Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwad (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwad (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.

                                                                                Palu, 28 September 2005
                                                                                Suami,
                                                                                …………………………
                                                                                Tanda Tangan dan Nama

Naskah taklik talak tersebut perlu diperiksa secara teliti oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berdasarkan Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.
(1) Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami istri telah menyetujui adanya taklik talak sebagai dimaksudkan Pasal 11 ayat (3) peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akad nikah dilangsungkan.
(2) Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak tetapi setelah akad nikah suami tidak mau mengucapkannya, maka hal ini segera diberitahukan kepada pihak istrinya.
Ketika menerima gugatan perceraian dari pihak istri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak, Pengadilan Agama harus benar-benar meneliti apakah sang suami menyetujui dan mengucapkan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada akta nikahnya, meski tidak atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya. Kalau suami menandatangani di bawah sighat taklik talak, ia dianggap menyetujui dan membaca sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.[20]

H.      Manfaat Sighat Taklik Talak
Memerhatikan sighat taklik talak tersebut, kandungan maksudnya sudah cukup baik dan positif, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang seharusnya diterima istri. Meskipun sesungguhnya istri telah mendapat hak berupa khulu’ (gugat cerai) maupun hak fasakh. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan adalah pencatatan apakah suami benar-benar menyetujui dan membaca dan menandatangani sighat taklik talak tersebut atau tidak. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul.[21]

I.         Pelanggaran Perjanjian Perkawinan
Pasal 51 KHI : Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Akan halnya mengenai perjanjian perkawinan, apabila telah disepakati oleh kedua mempelai, maka masing-masing wajib memenuhinya. Sepanjang dalam perjanjian tersebut tidak ada pihak-pihak lain yang memaksa. Ini sejalan dengan hadits riwayatal-Bukhari :


Artinya :
“Barangsiapa mensyaratkan pada dirinya sendiri untuk maksud taat (kepada Allah dan Rasul-Nya), dalam keadaan tidak terpaksa, maka ia wajib memenuhunya.” (Riwayat al-Bukhari).[22] Kata ‘Umar ibn al-Khaththab :


Artinya :
“Sesungguhnya keputusan hak terletak pada syarat-syarat yang ditetapkan, dan pada kamu apa yang kamu syaratkan.” (Riwayat al-Bukhari).[23]

Pada hadits yang lain, Rasulullah Saw menegaskan :



Artinya :
“Syarat-syarat yang lebih utama dipenuhi ialah syarat-syarat untuk menghalalkan hubungan suami istri.” (Riwayat al-Bukhari).[24]
Keharusan memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama juga ditegaskan dalam firman Allah :

 





Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian itu. (Q.S Al-Maidah : 1)


Artinya :
Tepatilah janjimu sesungguhnya janji itu kelak akan diminta pertanggung jawaban. (Q.S Al-Isra’ : 34)

J.        Macam-macam Sifat Perjanjian
Lebih jauh tentang perjanjian ini, Kholil Rahman[25] mengintrodusasi macam-macam sifat perjanjian :
a.    Syarat-syarat yang menguntungkan istri, seperti syarat untuk tidak di madu. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang mengatakan sah, dan ada yang mengatakan tidak sah. Sayid sabiq misalnya, membolehkan istri menuntut fasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut.




Artinya :
“Apabila seorang istri mensyaratkan pada waktu akad nikah, agar suaminya tidak kawin lagi (memadunya), maka syarat itu sah dan mengikat, dan dia berhak menuntut fasakh nikah apabila suami melanggar perjanjiannya itu.”[26]
b.    Syarat-syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendiri. Seperti, tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris-mewaris di antara suami istri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua, dan lain-lain. Syarat-syarat semacam ini tidak sah, dan tidak mengikat.
c.    Syrat-syarat  yang bertentangan dengan ketentuan syara’, seperti jika akad nikah sudah dilangsungkan, agar masing-masing pindah agama, harus mau makan daging babi, dan sebagainya. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan akad nikahnya juga tidak sah.
Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan istri, tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalan nya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya. Demikian juga sebaliknya, jika si istri yang melanggar perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.




[1] CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-VII (Jakarta : PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 119.
[2] Ibid
[3] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. XXVII (Jakarta : Intemasa, 1995), hlm.37.
[4] KUH Perdata, Bab VII dan VIII Pasal 139-185.
[5] Undang-undang nomor 1 tahun 1974, Bab V Pasal 29.
[6] Kompilasi Hukum Islam, Bab VII Pasal 45-52.
[7] Martias Gelar Imam Radjo Mulono, Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda Indonesia, (Jakarta : Ghalia,1982), hlm.107.
[8] Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, cet. ke.I (Bandung : Mandar Maju, 2007), hlm. 1.
[9] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), cet. I (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 137.
[10] Ibid, hlm. 138.
[11] (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah  mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. (3)  Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
[12] Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum, hlm. 12.
[13] Pasal 47 ayat (2) dalam KHI menyebutkan: Perjanjian tersebut dalam Pasal (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharaian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.          
[14] KUH Perdata Pasal 140, berbunyi: “perjanjian yang demikian tidak boleh mengurangi segala hak yang yang disandarkan pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan orang tua, pun tak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang-undang kepada si yang hidup terlama di antara suami istri. Lagi pun perjanjian itu tak boleh mengurangi hak-hak yang dilimpahkan kepada suami sebagai kepala persatuan suami-istri, kecuali namun ini, bahwa berhaklah si istri memperjanjikan bagi dirinya, akan mengatur sendiri urusan harta kekayaan pribadi....”
[15] Dalam KUH Perdata Pasal 141 menyebutkan: “dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua para calon suami istri tidak diperbolehkan melepaskan hak-hak yang diberikan undang-undang kepada mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah, pun tidak boleh mengatur harta peninggalan itu”.
[16] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 6, (Kairo : Makatabah al-Adab, tt.), hlm. 114.
[17] Ibid.
[18] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2006) hal.129.
[19] Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 50 ayat (2).
[20] Ali, Zainudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm.42-43.
[21] Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm.130.
[22] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 3, (Beirut : Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), hlm. 185.
[23] Ibid., hlm. 175.
[24] Ibid.
[25] Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam, (Diktat tidak diterbitkan), (Semarang : IAIN Walisongo, tt.), hlm. 109-110.

Popular posts from this blog

Hadist Qouliyah, Fi’liyah dan Taqririyah

Hadits Qauliyah, Fi’liyah dan Taqririyah 1.       Hadits Qauli Yang dimaksud dengan hadist Qauli, ialah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. dengan kata lain hadist tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah maupun akhlaq. Diantara contoh Hadist Qauli adalah hadist tentang do’s Rasulullah SAW yang ditujukan kepada orang yang mendengar, menghafal, dan menyampaikan ilmu. Hadist tersebut berbunyi: نَضَّرَ اللّهُ امْراءً سَمِعَ مِنَّاحَدِيْثًا فَحَفِظَةُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَاِنّهُ رُبَّ حَامِلٍ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍوَرُبَّ حَامِلٍ فِقْهٍ اِ لَى مَنْ هُوَ اَفْقَهُ مِنْهُ ثَلاَ   ثٌ خِصَالٍ لاَيَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ اَبَدًا اِخْلاَ صُ الْعَمَلِ لِلّهِ وَمُنَا صَحَةُ وُلاَةِ الاْمرِ وَلُزُوْمُ الْجَمَاعةِ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرائِهِمْ (رواه احمد). Artinya: Semoga Allah

10 Foto Syur Artis Indonesia Yang Bikin Heboh

pay per click advertising pay per click advertising [Putar Video SEKS: KLIK]   - Diabadikan, kata tersebut tampaknya sangat pantas untuk menilai sebuah jepretan  foto . Sangat wajar pula jika sebuah   pose  hanya dijadikan sebagai konsumsi pribadi. Lalu bagaimana jika   foto pribadi  itu tersebar ke publik? Dengan teknologi internet tampaknya hal-hal yang bersifat  pribadi  semakin tergadaikan. Bahkan, hal tersebut menimpa   artis-artis Indonesia . Ini dia   10 foto ‘nakal’ artis yang bikin heboh . 1. Mayangsari Pada 2009 lalu memang sedang hangat-hangatnya   hubungan ‘terlarang’ antara Mayangsari dan Bambang Trihatmodjo . Sempat tak mengakui terlibat   percintaan , namun   foto-foto nakal   mereka tersebar di internet. Ada beberapa   foto Mayang  mengenakan kimono terbuka yang memperlihatkan tubuhnya yang berbalut celana dalam dan bra.   Foto   tersebut cukup jelas memperlihatkan lekuk tubuh perempuan kelahiran Purwokerto tersebut. Foto kedua memperlihatkan kea

MAKALAH SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI JAWA

MAKALAH SEJARAH  MASUKNYA  ISLAM  DI JAWA I.      PENDAHULUAN Berbagai artikel, berbagai pendapat tentang sejarah masuknya Islam di Jawa yang sangat sulit untuk di percayai yang manakah diantaranya yang paling mendekati kebenarannya. Islam begitu sangat penting untuk diketahui asal muasal pembawanya ke Jawa, juga masih diragukan karena banyaknya pendapat tersebut sehingga para penganut Islam pun kontroversional dalam mengimani hal-hal yang berkaitan dengan proses-proses adanya Islam di Jawa. Banyak tokoh-tokoh pula yang berjasa atas berdirinya Islam di Jawa yang membawa pengaruh besar atas perkembanganya yang patut kita hargai pengorbananya kepada kita semua yang sehingga kini pun telah senantiasa hidup dalam kebenaran oleh karena ilmu-ilmu dan dakwah mereka yang meluruskan jalan kita sampai detik ini pun masih terkenang para penyebar terdahulu. Dengan bermacam-macam cara telah mereka tempuh demi terrcapainya tujuan mereka menyampaikan kebenaran agama Islam. Dala