Kesiapan Negara Bersyari’ah
(Beberapa indikator untuk mengukur kesiapan negara ini)
Apakah, persisnya, yang kita maksud dengan penerapan syari’ah? Apakah salah satu dari tiga pengertian ini:
-Mengakomodasi satuan-satuan hukum –perdata dan pidana– Islam dalam konstitusi dan undang-undang serta berbagai penjabaran hukumnya?
-Atau mengisi segenap ruang konstitusi dan undang-undang serta berbagai penjabaran hukumnya, di negeri kita, dengan ajaran Islam?
-Atau mengatur negara ini, pada semua aspeknya, dengan cara Islam dan oleh orang-orang Islam?
Pengertian pertama memandang Islam sebagai salah satu referensi perundangan-undangan nasional", dan secara praktis telah dilakukan sejak masa Orde Baru, khususnya pada aspek hukum perdata.
Yang kedua memandang Islam sebagai referensi utama yang mewarnai seluruh aspek perundang-undangan nasional. Kenyataan ini ada di Mesir. Di negeri itu, Islam diletakkan sebagai dasar negara. Tapi penguasa negeri itu, sepanjang sejarah kemerdekaan mereka, selalu sekuler; maka Islam tidak pernah lebih dari sekedar simbol, bahwa negeri itu dihuni mayoritas Muslim.
Yang ketiga memandang Islam sebagai referensi utama sekaligus penguasa mayoritas. Dalam pandangan ini, Islam menjadi ruh yang mewarnai konstitusi negara dengan segala derivasi (penjabaran) hukumnya, sekaligus mempunyai “kekuatan eksekusi” yang memungkinkannya mengarahkan segenap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apapun pengertian kita tentang penerapan syariat Islam, kita tetap perlu menyepakati kerangka logika ini;
Pertama,
bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang integral dan komprehensif, yang karenanya memiliki semua kelayakan untuk dijadikan sebagai referensi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua,
bahwa berkah sistem kehidupan Islam hanya dapat dirasakan masyarakat apabila ia benar-benar diterapkan dalam segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Ketiga,
bahwa untuk dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka diperlukan dua bentuk kekuatan; kekuatan legalitas dan kekuatan eksekusi.
Keempat,
bahwa untuk dapat memiliki kekuatan legalitas dan kekuatan eksekusi, diperlukan kekuasaan yang besar dan sangat berwibawa, yang diakui secara de facto maupun de jure.
Atas dasar kerangka logika tersebut, maka urutan persyaratan yang harus kita penuhi adalah meraih kekuasaan, memiliki kompetensi eksekusi dan bekerja dengan keabsahan konstitusi. Dalam perspektif politik praktis, keabsahan konstitusi adalah bagian akhir dari seluruh rangkaian proses penerapan syariat Islam, bukan syarat pertama. Sebab apalah arti sebuah konstitusi yang agung, jika tidak ada tangan-tangan kuat yang memiliki “political will” dan “execution competence”, yang akan menjadikannya nyata dalam kehidupan.
Selain itu, ada pelajaran lain dari sejarah. Tidak pernah ada sebuah negara yang menyatakan Islam sebagai ideologinya, melainkan ia pasti memasuki hari-hari panjang yang penuh keringat, air mata dan darah. Sejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pindah ke Madinah, beliau harus menghadapi 68 kali pertempuran dan memimpin 28 diantaranya.
Di zaman kita, setidaknya kita belajar dari Iran (1979) [terlepas dari unsur-unsur syi’ah yang kontroversial di dalamnya] dan Sudan (1987). Begitu kedua negara itu menyatakan diri sebagai negara Islam, dunia segera bertindak: embargo. Sudan bahkan masih mengalaminya hingga saat ini.
Sejarah itu mengajari kita, bahwa ada risiko yang harus ditanggung begitu sebuah negara menyatakan Islam sebagai jati dirinya. Risiko itu tidak hanya ditanggung para pemimpin, tapi rakyat juga ikut menanggung —bahkan mungkin sebagian besar— risiko tersebut. Jika rakyat tidak benar-benar siap menghadapi resiko itu, boleh jadi merekalah yang akan menjadi musuh utama penerapan syariat Islam. Logika mereka sederhana; “karena Islamlah mereka menderita”.
Dalam kerangka itu semua, penerapan syariat Islam tidak dapat dipandang sebagai sebuah proses perundang-undangan an sich. Ia merupakan suatu proses yang menyeluruh, yang menandai terjadinya peralihan besar-besaran pada struktur ideologi, budaya dan kekuasaan dalam sebuah masyarakat. Tentu saja peralihan itu mempunyai implikasi sangat besar dalam kehidupan masyarakat, sebab yang berubah adalah keseluruhan tatanan kehidupan mereka.
Penyederhanaan yang berlebihan terhadap proses penerapan syariat Islam hanya akan membuat kita bekerja di tengah kejutan-kejutan. Terlalu banyak fakta tidak terduga yang akan kita hadapi. Kita akan kesulitan mengantisipasinya. Dalam keadaan begitu, peluang gagal kita lebih besar.
Siapkan dulu landasannya
Itu sebabnya kita perlu memenuhi syarat-syarat kesiapan menuju penerapan syariat Islam yang paripurna. Itulah landasan yang kokoh bagi sebuah masa depan yang tidak akan mudah tercabut oleh badai dalam semua bentuknya. Tingkat kesiapan itu dapat kita ukur melalui standar berikut;
Pertama,
adanya komitmen dan kekuatan aqidah pada sebagian besar kalangan kaum Muslimin. Yaitu komitmen aqidah yang menandai kesiapan ideologis masyarakat Muslim untuk hidup dengan sistem Islam pada seluruh tatanan kehidupannya. Serta kekuatan aqidah untuk menampilkannya dalam kehidupan di lingkungan mereka secara mempesona.
Kedua,
supremasi pemikiran Islam di tengah masyarakat sehingga muncul kepercayaan umum bahwa secara konseptual Islamlah yang paling siap menyelamatkan bangsa dan negara. Dengan begitu Islam menjadi arah yang membentuk arus pemikiran nasional.
Ketiga,
sebaran kultural yang luas dimana Islam menjadi faktor pembentuk opini publik dan —untuk sebagiannya— tersimbolkan dalam tampilan-tampilan budaya, seperti pakaian, produk kesenian, etika sosial, istilah-istilah umum dalam pergaulan dan seterusnya.
Keempat,
keterampilan akademis yang handal untuk dapat mentransformasi (legal-drafting) ajaran-ajaran Islam kedalam format konstitusi, undang-undang dan derivasi hukum lainnya.
Kelima,
kompetensi eksekusi yang kuat dimana ada sekelompok tenaga leadership di tingkat negara, yang visioner dan memiliki kemampuan teknis untuk mengelola negara. Merekalah yang menentukan —di tingkat aplikasi— seperti apa wajah Islam dalam kenyataan, dan karenanya menentukan berhasil tidaknya proyek Islamisasi tersebut.
Keenam,
kemandirian material yang memungkinkan bangsa kita tetap survive begitu kita menghadapi isolasi atau embargo. Apabila siklus perekonomian tetap dapat berjalan di dalam negeri, maka itu sudah merupakan tanda kesiapan untuk lebih independen.
Ketujuh,
kapasitas pertahanan yang tangguh, sebab tantangan eksternal yang mungkin kita hadapi tidak terbatas pada gangguan ekonomi, tapi juga gangguan pertahanan. Lihatlah Iraq, misalnya. Begitu ia memiliki sedikit kemampuan militer ia harus menghadapi serangan Amerika sebelum kekuatannya menjadi ancaman.
Kedelapan,
koneksi internasional yang akan memungkinkan kita tetap eksis dalam percaturan internasional, atau tetap memiliki akses keluar begitu kita menghadapi embargo atau invasi.
Kesembilan,
tuntutan politik yang ditandai dengan adanya partai-partai politik —bersama publik— yang secara resmi meminta penerapan syariat Islam di tingkat konstitusi. Partai-partai politik itu harus menjadikan Islam sebagai proposal politiknya. Indikator ini perlu disebutkan terutama karena kita berbicara dalam konteks demokrasi. Tapi di luar konteks demokrasi, delapan indikator sebelumnya adalah cukup, ditambah dengan tuntutan publik tanpa partai politik.
Pertanyaan besar..???
Sekarang, pertanyaan besarnya adalah berapakah indikator kesiapan yang sudah tersedia? Semangat perjuangan haruslah senantiasa mendorong kita untuk bekerja keras dan lebih keras lagi. Tapi rasionalitas dan objektivitas haruslah mewarnai keseluruhan cara kerja kita, baik dalam menilai kemampuan internal ummat kita, maupun dalam menaksir kekuatan eksternal musuh-musuh umat.