PERILAKU DAN KEBIASAAN PENYIMPANGAN POSITIF MASYARAKAT
Kekurangan
gizi memang merupakan masalah yang sangat kompleks, karena tidak hanya
disebabkan oleh satu faktor
saja. Tetapi masalah kekurangan gizi seringkali dihubungkan dengan kemiskinan.
Kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama terjadinya kekurangan gizi. Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa kemiskinan akan menurunkan daya beli masyarakat
akan pangan sehingga akan meningkatkan prevalensi kekurangan gizi. Rendahnya
konsumsi makanan memang umumnya merupakan sindrom kemiskinan dan meluasnya
penyakit infeksi merupakan refleksi lingkungan yang buruk.
Tingkat perekonomian suatu negara identik dengan
tingkat kesejahteraan, kesehatan, dan kemakmuran masyarakatnya. Sehingga pada
umumnya, suatu keluarga dengan perekonomian yang tinggi cenderung memiliki
tingkat kesejahteraan serta asupan pangan yang cukup. Tetapi sebaliknya, bagi
keluarga yang kurang mampu (miskin) cenderung memiliki tingkat kesejahteraan
dan asupan pangan (gizi) yang rendah. Akan tetapi
sebagian anak dalam keluarga tertentu dengan tingkat ekonomi yang rendah (miskin) mempunyai daya
adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang dengan baik dan tidak kekurangan gizi. Mereka dapat keluar
dari permasalahan yang sama
(kekurangan
gizi) ketika keluarga miskin
lainnya terbelenggu dalam masalah
kekurangan
gizi. Padahal secara sosial ekonomi,
mereka hidup
dalam lingkungan yang sama serta memiliki akses yang sama pula terhadap
fasilitas kesehatan. Walaupun
keluarga-keluarga tersebut
hidup dalam suatu komunitas yang sama, dalam artian sama-sama memiliki tingkat
social ekonomi yang rendah, sama-sama
memiliki sumber daya
yang sama, tetapi terdapat keluarga-keluarga tertentu yang mempunyai perilaku yang tidak lazim
atau menyimpang dari keluarga-keluarga lain dan anak-anak mereka tidak mengalami
gizi buruk.
Contoh penyimpangan positif masyarakat antara lain kebiasaan
dalam pemberian makan pada balita, khususnya bayi yang baru lahir sebagai
tambahan ASI. Kolostrum atau susu awal adalah air susu
ibu (ASI) yang keluar pada hari-hari
pertama
setelah kelahiran bayi yang berwarna
kekuning-kuningan dan lebih
kental. Hali ini dikarenakan kolostrum mengandung
banyak vitamin A, protein, dan
zat kekebalan yang penting untuk melindungi bayi dari penyakit
infeksi. Kolostrum juga mengandung vitamin E dan K serta beberapa
mineral seperti natrium dan Zn.
Belum semua ibu telah memahami sepenuhnya tentang ASI
dan kolostrum. Masih banyak ibu-ibu yang tidak langsung memberikan ASI setelah
anaknya lahir. Banyak alasan yang dikemukakan ibu-ibu antara lain: ibu merasa
ASI-nya tidak cukup, atau ASI tidak keluar pada hari-hari pertama kelahiran
bayi serta biasanya bidan atau pihak rumah sakit memberikan susu formula pada
jam pertama kelahiran bayi karena kondisi ibu masih lemah. Namun terdapat
beberapa kebiasaan yang kurang baik, seperti
memberikan makanan pralaktal yaitu pemberian makanan atau minuman untuk
menggantikan ASI apabila ASI belum keluar pada hari-hari pertama setelah
kelahiran. Jenis makanan tersebut antara lain: susu formula, madu, pisang, air
didih nasi, air gula, atau air putih yang dapat membahayakan kesehatan bayi dan
berkurangnya kesempatan untuk merangsang produksi ASI sedini mungkin melalui
isapan bayi pada payudara ibu. Kebanyakan ibu-ibu memberikan ASI diselingi
dengan makanan atau minuman lain pada waktu bayi baru berusia satu bulan. Cara
ini tentu tidak tepat, karena pemberian makanan dan minuman selain ASI akan
menyebabkan bayi kenyang, sehingga mengurangi konsumsi ASI oleh si bayi. Kebanyakan
ibu merasa sulit untuk menerapkan ASI eksklusif kepada bayinya selama 4 – 6 bulan,
karena ibu merasa ASI saja tidak cukup
membuat anak kenyang. Anak masih menangis walau telah disusukan, karena ibu
beranggapan bahwa bayi masih lapar. Tentunya ini adalah anggapan yang salah,
karena sampai umur 6 bulan ASI adalah makanan yang terbaik dan mencukupi kebutuhan
gizi bayi.
Tetapi keluarga penyimpang positif (positive deviance)
memiliki perilaku dan kebiasaan yang berbeda dengan keluarga yang memiliki anak
kekurangan gizi. Makanan yang disediakan oleh ibu kepada anaknya adalah makanan
yang terjangkau dan tersedia untuk seluruh masyarakat. Bukan makanan-makanan
khusus yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Makanan seperti tahu, tempe,
telur, ikan, bayam, kentang dan wortel adalah makanan yang sering digunakan
oleh keluarga-keluarga penyimpang positif. Bahan makanan tersebut diolah dengan
berbagai variasi agar anak tidak merasa bosan. Ibu-ibu keluarga penyimpang
positif mengaku bahwa mereka membeli bahan makanan yang sedang musiman sebagai
strategi untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga dengan harga yang relatif
murah. Keluarga penyimpang positif memiliki prinsip tidak membolehkan anak
jajan sebelum makan. Karena jika anak sudah jajan di awal, maka setelah itu anak
akan susah makan. Karena anak sudah merasa kenyang dengan jajanan yang dimakan.
Pada umumnya, yang menjadi pengasuh utama anak adalah
ibu. Apabila ibu keluarga penyimpang positif
ada kepentingan dan tidak dapat membawa bayi atau anaknya, sehingga pengasuhan
digantikan oleh nenek, bibi, saudara ayah, anak yang lain yang sudah besar dan
bahkan tetangga. Perilaku ini menunjukkan pentingnya hubungan baik antara
keluarga dengan lingkungan sekitar seperti tetangga. Keluarga penyimpang
positif sering membawa anak mereka bermain dengan anak tetangga, terutama
ketika makan. Keluarga penyimpang positif seringkali menyuapi anaknya bersama
anak-anak tetangga lainnya. Selain makan, anak juga belajar bersosialisasi
dengan anak-anak lain, sehingga itu dapat menjadi sarana yang baik bagi anak
untuk bersosialisasi. Tidak jarang sambil makan tersebut, ibu-ibu menyanyikan
lagu-lagu. Hal tersebut juga dapat
membuat kosa kata anak menjadi lebih banyak dan dapat berbicara dengan lancar.
Hampir seluruh keluarga, baik penyimpang positif maupun yang bukan kurang
membiasakan diri untuk mencuci tangan dengan sabun sebelum makan atau menyuapi
anak. Ibu-ibu hanya mencuci tangan apabila menyuapi anak dengan menggunakan
tangan.
Contoh lain adalah solusi pengobatan yang digunakan
oleh ibu-ibu jika anaknya sakit diare, cukup beragam dan tergantung lamanya anak
sakit. Untuk anak yang sakit diarenya hanya satu hari, kebanyakan ibu-ibu tidak
mengobatinya karena mereka menganggap diare sehari biasa terjadi pada anak-anak.
Sedangkan untuk sakit diare yang lebih dari dua hari, kebanyakan ibu-bu memilih
puskesmas tempat berobat. Kasus paling lama sakit diare yang diderita oleh anak
adalah 15 hari yang mereka sebut sebagai “palasik”, dimana tubuh anak semakin
kurus karena diare yang berkepanjangan yang disertai panas tinggi. Mereka biasanya
lebih memilih pengobatan dukun tradisional daripada medis modern. Pilihan
pengobatan ini karena penyakit tersebut dipahami disebabkan oleh makhluk halus
sehingga dalam pengobatan dukun tradisional menurut mereka lebih tepat.