Akibat Hukum Putusan MK
Sebagaimana
putusan peradilan pada umumnya putusan peradilan konstitusi di MK juga
mempunyai akibat hukum. Untuk putusan pengujian undang-undang bentuk putusannya
adalah declarator constitutief. Artinya putusan MK dapat menciptakan suatu
keadaan hukum baru atau meniadakan suatu kedaan hukum. Posisi yang demikian
menempatkan MK sebagai negative legislator. Putusan MK mempunyai tiga kekuatan
yakni kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial.
1.
Kekuatan Mengikat
Sebuah
putusan pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa
dan menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak yang telah menyerahkan perkaranya
pada pengadilan berarti menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada
pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili. Konsekuensi yang timbul
adalah pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan hakim.
Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak.
Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan.
MK
mendapatkan dukungan publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terutama
memutus pengjian undang-undang. Meskipun demikian tak jarang MK mengeluarkan putusan
yang dianggap aneh dan revolusioner dalam dunia peradilan. Ada yang mendukung
dan sepakat dengan putusan MK. Adapula yang menentang putusan MK dengan dalih
tidak mempunyai kekuatan hukum. Beberapa kalangan mempertanyakan mengenai
kekuatan hukum yang dimiliki oleh subuah putusan MK.
Sebagai
sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi MK juga
mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan MK
yang bersifat final dan mengikat.[1]
MK berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut
berarti putusan MK mau tidak mau harus dilaksanakan. Tidak diperkenankan adanya
upaya hukum lanjutan atas putusan MK. Yang demikian dikarenakan MK adalah
pengadilan terakhir bagi masyarakat untuk mengadukan hak konstitusionalnya.
Sifat
final tersebut berarti bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Sifat mengikat putusan MK berbeda dengan putusan peradilan pada umumnya. Jika
di peradilan umum putusan hanya mengikat bagi para pihak berperkara
(interpartes) maka putusan MK juga mengikat bagi semua orang dan badan hukum
yang ada di Indonesia. Sehingga putusan MK dikatakan sebagai negative
legislator yang bersifat erga omnes. Mengenai kekuatan mengikat putusan MK kita
dapat menengok kembali pada Pasal 10 UU MK bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final.
Kekuatan
hukum yang mengikat memiliki arti positif maupun negatif. Sebuah putusan
bersifat mengikat dalam arti positif yakni bahwa apa yang telah diputuskan
hakim harus dianggap benar dan tidak dimungkinkan pembuktian lawan. Mengikat
dalam arti negatif, artinya bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang
pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara
yang sama.
2.
Kekuatan Pembuktian
Dalam
proses pengadilan akan membutuhkan alat bukti sebagai sarana penemuan fakta dan
kebenaran. Sebuah putusan pengadilan, khususnya putusan MK memiliki kekuatan
pembuktian. Dalam Pasal 60 UU MK menyatakan setiap muatan ayat, pasal dan/atau
bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan untuk diuji
kembali. Dengan demikian putusan MK tersebut merupakan sebagai lat bukti yang
dapat digunakan bahwa telah diperoleh kekuatan hukum yang pasti.
Kekuatan
hukum pasti yang terdapat dalam putusan MK ada dua sisi yakni positif dan
negatif. Sisi positif adalah bahwa apa yang diputus oleh hakim dianggap telah
benar sehingga tidak diperlukan pembuktian. Sedangkan sifat negatifnya adalah
hakim tidak diperbolehkan memutus perkara yang pernah diajukan sebelumnya.
Putusan pengadilan yang isinya menghukum dan telah memperoleh kekuatan hukum
yang pasti, dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara mengenai peristiwa yang
telah terjadi.
3.
Kekuatan Eksekutorial
Putusan
MK dimaksudkan sebagai perbuatan hukum pejabat negara untuk mengakhiri sengketa
yang akan menidakan atau menciptakan hukum. Sehingga diharapkan putusan MK tak
hanya untaian kata yang tertulis di atas kertas. Kekuatan eksekutorial putusan
MK adalah ketika putusan itu diumumkan.
MK adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Konstitusi sebagai dasar dan pedoman paraktik ketatanegaraan harus ditaati sebagai dasar hukum bernegara. Kewenangan MK untuk menguji apakah suatu undang-undang telah memenuhi syarat konstitusional diadakan melalui konstitusi. Sehingga MK dalam setiap putusannya mengandung nilai hukum yang mesti ditaati dan langsung dapat dieksekusi.
MK adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Konstitusi sebagai dasar dan pedoman paraktik ketatanegaraan harus ditaati sebagai dasar hukum bernegara. Kewenangan MK untuk menguji apakah suatu undang-undang telah memenuhi syarat konstitusional diadakan melalui konstitusi. Sehingga MK dalam setiap putusannya mengandung nilai hukum yang mesti ditaati dan langsung dapat dieksekusi.
Undang-undang
yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap putusan MK yang membatalkan dalam
pengujian undang-undang ditempatkan pada berita negara.
[1] Putusan MK ini bersifat publik sehingga putusannya tersebut mempunyai
kekuatan hukum mengikat bukan hanya terhadap para pihak (interparties), tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes) (Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, (Bandung : PT. Citra Adytia Bakti, 2006), hlm. 43 – 44).